Tuesday, March 22, 2011

PLTN di Indonesia Tidak Harus Dibatalkan

KOMPAS.com – Gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang Jumat (11/3/2011) lalu memang telah mengakibatkan krisis nuklir. Sistem pendingin tak berfungsi sehingga sejumlah reaktor terancam lumer. Jepang harus sekuat tenaga mendinginkan reaktor dan berjuang melawan radiasi zat radioaktif.


Melihat hal tersebut, beberapa kalangan di Indonesia menganggap bahwa PLTN adalah teknologi yang berbahaya. Dengan adanya beberapa wilayah Indonesia yang rawan gempa, maka dikhawatirkan kasus Jepang akan terulang di Indonesia.


Melihat kasus Jepang, haruskah pengembangan PLTN di Indonesia digagalkan? Benarkah tak bisa dipilih lokasi tertentu di Tanah Air yang tak rawan gempa sehingga pengembangan PLTN tetap bisa dilanjutkan?


Prof. Dr. Zaki Su’ud dari Kelompok Keahlian Nuklir dan Biofisika ITB, serta Dr. Irwan Meilano dari Kelompok Keahlian Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB membahasnya dalam konferensi pers di ITB 15 Maret 2011 lalu.


Irwan mengungkapkan perbedaan wilayah geografis Jepang dan Indonesia. Menurutnya, tak ada lokasi di Jepang yang tak rawan gempa sementara Indonesia masih punya wilayah berpotensi gempa rendah. Dengan demikian, PLTN masih bisa dikembangkan.


“Daerah-daerah inilah yang seharusnya digunakan untuk lokasi pembangunan PLTN,” papar Irwan. Menurutnya, Jepang saja yang seluruh daerahnya berpotensi gempa 40 persen kebutuhan listriknya disuplai dari PLTN.


Irwan mengungkapkan, berdasarkan peta zonasi gempa, Indonesia memiliki wilayah berpotensi gempa rendah, yakni Bangka Belitung, Kalimantan, dan bagian utara Banten. Wilayah lain berpotensi gempa tinggi dan sedang.


Zaki mengatakan bahwa PLTN sebenarnya pantas dikembangkan. Dalam perbincangan dengan Kompas.com, tenaga nuklir memiliki kelebihan dibandingkan dibandingkan sumber energi alternatif lainnya.


“Jangan lupakan fakta bahwa nuklir adalah sumber energi murah. Listrik dari PLTN hanya dihargai Rp 300 s.d. Rp 350 per kWh. Bahkan, PLTN generasi keempat dapat menyediakan listrik dengan tarif Rp 150 s.d. Rp 200 per kWh,” papar Zaki. “Inilah sebabnya pemerintah China saat ini menggalakkan pembangunan PLTN,” lanjut Zaki.


PLTN juga menurutnya memiliki kelebihan karena tidak menghasilkan emisi karbon seperti sumber lainnya.


Zaki mengungkapkan, dalam membangun PLTN yang terpenting adalah belajar dari potensi bencana. “Buat desain yang meminimalisir terjadinya kerusakan akibat bencana. Pastikan margin of safety telah memadai,” ungkapnya.