Saturday, March 12, 2011

Pengurus PSSI Laporkan Keuangan




Ada hal yang tak biasa terjadi pada Kongres Tahunan PSSI di Bali, 21-24 Januari 2011. Pengurus PSSI menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan 2010 dan rencana anggaran 2011, meskipun belum detail dan tidak diaudit oleh akuntan publik.


Pemasukan PSSI tahun lalu mencapai Rp 54,561 miliar, antara lain berasal dari sponsor penyelenggaraan Liga Super Indonesia Rp 20,86 miliar, dana dari FIFA 250.000 dollar AS (Rp 2,3 miliar), serta denda pelanggaran disiplin dan iuran pendaftaran pemain asing Rp 2,98 miliar.


Sementara itu, total pengeluaran PSSI tahun 2010 mencapai Rp 56,635 miliar. Alokasi pengeluaran terbesar dari dana tersebut dipakai untuk biaya operasional Badan Tim Nasional sebesar Rp 20,749 miliar, anggaran Kesekretariatan Jenderal PSSI Rp 14,48 miliar, Badan Liga Sepak Bola Amatir Indonesia Rp 8,053 miliar, dan Badan Pembinaan Sepak Bola Usia Muda Rp 3,189 miliar.


Untuk 2011, PSSI merencanakan penerimaan sebesar Rp 98,303 miliar. Tambahan pemasukan diharapkan berasal dari Kementerian Pemuda dan Olahraga serta KONI sebesar Rp 50 miliar. Porsi tiket pertandingan dalam pos penerimaan ditargetkan Rp 5 miliar. Alokasi dana dari sponsor kompetisi ditargetkan naik menjadi Rp 38,4 miliar. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mengatakan, pemasukan organisasi yang mencapai Rp 75 miliar-Rp 90 miliar belum mencukupi pengeluaran sebesar Rp 100 miliar-Rp 125 miliar. Namun, ia mengklaim PSSI sudah cukup mampu memperbaiki kesejahteraan pemain ataupun wasit.


”Pemain kita dulu bergaji Rp 5 juta-Rp 25 juta. Hari ini, gajinya dari Rp 25 juta-Rp 150 juta. Wasit kita, yang dulu bawa pulang uang Rp 5 juta-Rp 10 juta sebulan, sekarang membawa Rp 25 juta-Rp 35 juta per bulan,” kata Nurdin.


Sihar Sitorus, pemilik Klub Medan Pro Titan yang berlaga di Divisi Utama, tidak memungkiri pembinaan sepak bola membutuhkan biaya besar. Sebuah klub besar membutuhkan biaya sampai Rp 10 miliar-Rp 25 miliar untuk menggaji pemain, pelatih, sampai menyewa lapangan.


Namun, ia menyesalkan minimnya dukungan PSSI untuk mendorong klub mandiri. ”PSSI dan Badan Liga Indonesia, penyelenggara kompetisi di bawah PSSI, juga tidak memberi apa-apa. Ibaratnya orang belanja, ya, tolong dong kami dikasih penunjuk jalan, posisi kami sekarang ada di mana dan mau dibawa ke mana,” ujar Sihar.


Ia mencontohkan dari setiap kali siaran laga kandang, klub memperoleh jatah Rp 35 juta sebagai bagian dari hak siar. ”Di Divisi Utama ada 18 klub, berarti ada 17 laga kandang. Kalau dikali Rp 35 juta, pendapatan tim selama satu musim mencapai Rp 595 juta. Dana sebesar itu tidak cukup kalau klub mau serius membina pemain, belanja pemain baru. Jadi, harus ditutup dari tiket pertandingan atau sponsor,” jelas Sihar.


Untuk menarik penonton dan sponsor, pertandingan yang disajikan harus berkualitas. Namun, lagi-lagi BLI dan PSSI tidak juga memberi lingkungan yang mendukung klub untuk berkembang hingga berpeluang ditaksir sponsor. Lingkungan yang dibuat justru mendemotivasi klub. Sebagai contoh, jadwal Divisi Utama sudah dua tahun ini tidak pernah jelas, tidak ada kepastian apakah ada degradasi atau tidak, dan wasitnya pun tidak sportif.


Pentingnya kualitas kompetisi ini diakui pula oleh Fatih Chabanto, Business Development PT Arena Zentha selaku konsultan marketing yang mengurus kontrak sponsor Djarum dengan PSSI. Djarum kembali terlibat sebagai sponsor pada tahun 2005. Kontrak berlaku selama tiga tahun dengan opsi privilese perpanjangan. Nilai kontrak untuk tahun 2011 mencapai Rp 40 miliar.


Dengan jumlah dana puluhan miliar rupiah yang telah dikeluarkan, sponsor berkepentingan agar liga diselenggarakan seprofesional mungkin. Berbagai masalah teknis yang menghambat pelaksanaan liga—seperti jadwal kompetisi yang terus berubah dan pelanggaran yang mengakibatkan partai usiran—berpotensi merugikan sponsor.


Juru bicara Liga Primer Indonesia, Abi Hasantoso, menilai, sulit mengubah kebiasaan yang sudah telanjur dipelihara PSSI. Karena itu, PT LPI menggunakan konsep klub sebagai pemilik saham. Targetnya, klub bisa mandiri dalam lima tahun.


LPI kini sudah menggandeng sejumlah perusahaan multinasional sebagai mitra kerja, antara lain Coca-Cola, Microsoft, Air Asia, dan Unilever.


”Semangatnya, kompetisi sehat, pemain termotivasi, dan ada biaya untuk pembinaan pemain usia muda. Inilah industri sepak bola yang sehat,” ujar Abi.