Sunday, March 13, 2011

Menilik Keraton Yogya


Berbalut surjan dan jarik, empat bupati dan wali kota Yogyakarta berjalan jongkok. Dengan cara laku ndodok itu, mereka mendekati singgasana Sultan Hamengkubuwono X. Mengekor di belakang adik-adik Sultan dan kerabat keraton, mereka menunggu giliran sungkeman.

“Maju,” titah Sri Sultan.

Mereka bergerak, mencium lutut Sultan. Lalu hening.

'Mundur,' suara Sultan kembali terdengar. Itu tanda satu sungkeman berakhir, dan bertukar giliran. Satu per satu. Mereka menghaturkan sembah. Mencium lutut sang raja Jawa.

Digelar setiap Idul Fitri, tradisi sungkeman dimulai dua setengah abad silam, sejak Sultan Hamengkubuwono I bertahta. Ritual itu disebut Grebeg Syawal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang hadir, keluarga dan abdi dalem keraton. Itu simbol hormat dan patuh kepada raja.

Bupati dan walikota? Lima pejabat teras itu memang bukan abdi dalem keraton yang bekerja untuk raja. Tak juga ada gelar bangsawan sebagai tanda kerabat keraton. Secara struktural, mereka bawahan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lantas mengapa bupati dan walikota ikut mencium lutut raja?

Seorang kerabat keraton, Heru Wahyukismoyo, mengatakan, kehadiran bupati dan wali kota di setiap Grebeg Syawal bersifat fakultatif. Bukan titah Sultan. Juga bukan kewajiban. “Mereka yang tak punya hubungan kekerabatan dengan keraton biasanya mengajukan diri ikut sungkeman,” ujarnya.

Meleburnya para abdi republik ke dalam tradisi keraton, juga tampak pada upacara pemandian pusaka (jamasan). Soalnya, tiap kabupaten dan kotamadya punya pusaka sendiri pemberian raja. Pusaka itu menjadi identitas daerah. Senjata ini harus dimandikan, atau dibersihkan setahun sekali. Sesuai adat keraton.

Grebeg Syawal dan Jamasan adalah potret betapa keraton masih menjadi patokan kekuasaan politik dan budaya di Yogyakarta. Tentu, itu tak lepas dari posisi Sultan, yang sekaligus gubernur bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Peperintahan Karaton

Di tengah kesibukannya sebagai gubernur pemimpin empat kabupaten dan kotamadya, Sultan Hamengkubuwono X tetap menjalankan perannya memimpin kerajaan. Sebagai raja bertahta (Ngarso Dalem), ia bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan keraton (Peperintahan Karaton).

Layaknya sebuah negara, Peperintahan Karaton punya struktur birokrasi dengan tugas dan fungsi sampai ke tingkat bawah. Konsepnya semacam departemen, dan dinas dalam birokrasi modern. Lembaga pembantu Sultan ini dipegang oleh para pengageng.

Tulang punggung pemerintahan keraton ada pada di Pengageng Sri Wandowo. Itu semacam sekretariat negara. Jabatan itu kini dipegang adik kandung Sultan, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo. Dia bertugas sebagai perantara, antara Sultan dan pengageng, atau abdi dalem lainnya di kawedanan.

Dalam memimpin keraton, Sultan tak lagi terjun langsung ke dalam rapat-rapat, atau pembahasan program. Sultan hanya memberikan persetujuan, atau instruksi. Semua titahnya dituang dalam surat keputusan (dhawuh dalem), yang ditulis dalam bahasa Jawa halus.

Dalam setahun, Sultan setidaknya membuat lebih dari tiga keputusan. Terakhir, dia menaikkan gaji dan program pendidikan bagi abdi dalem. “Segala keputusan yang diambil Sultan, akan dilaksanakan hingga tingkat bawah melalui Gusti Joyo,” kata GBPH Yudhaningrat, yang juga adik Sultan.

Walau tak terlibat langsung di rumah tangga keraton, Sultan tetap muncul pada setiap upacara besar keraton. Misalnya Grebeg Syawal dan Pisowanan Ageng. Sultan tetap menjadi simbol tertinggi keraton.

Di Peperintahan Karaton, Gusti Joyo adalah nomor satu. Dia mengendalikan sejumlah kawedanan, lembaga yang menangani aneka urusan keraton. Mulai dari perawatan museum dan benda antik, organisasi adat dan budaya Jawa, tanah, bangunan, tari, gamelan, makanan tradisional, gelar, hingga upacara kesultanan.

Setiap kawedanan punya pemimpin, kantor, dan abdi dalem. Mereka berkantor di lingkungan keraton, wajib pakai surjan, kemben, dan jarik. Sementara yang beraktivitas di luar, boleh pakai busana modern. Umumnya batik.

Abdi dalem bekerja berdasar aturan rumah tangga keraton, dan surat dawuh dalem. Sekitar 1.000 dari 3.000 abdi dalem mendapat bayaran. Kecil memang, hanya Rp5-35 ribu sebulan. Bayaran ini sebagai simbol kasih sayang raja kepada rakyatnya yang mengabdi.

'Hampir semua abdi dalem punya pekerjaan lain guna menopang ekonomi keluarga. Sebagai abdi dalem, saya bekerja setiap hari. Saya punya 12 hari untuk mengurus sawah,' kata Joyo Pradata, yang menjadi abdi dalem sejak 1975.

Selain mendapat kucuran dana APBN, keraton mencukupi kebutuhan internal melalui pengelolaan aset. Ada sejumlah tanah milik keraton yang disewakan kepada masyarakat. 'Pemasukan ini kemudian diolah bendahara keraton untuk rumah tangga keraton,' kata Gusti Yudha. Dia tak menyebutkan berapa persisnya kebutuhan dan belanja keraton setiap tahunnya.

Kekuasaan menciut

Menilik sejarah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada mulanya, adalah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. Memiliki wilayah kekuasaan sendiri, sekaligus berwenang penuh mengelola sumber daya ekonomi.

Meski di bawah Sultan, pada zaman kolonial itu pemerintahan dibagi dua. Pertama, Parentah Ageng Karaton, untuk urusan domestik keraton. Kedua, Parentah Nagari, untuk urusan luar. Dalam tugasnya, Sultan dibantu Pepatih yang dulunya adalah kepanjangan tangan Belanda.

Restorasi pemerintahan keraton terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono IX. Keraton memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, administrasi keraton dijalankan berdasar peraturan daerah di Indonesia.

Parentah Ageng Keraton masih bertahan. Namun, tak lagi menyentuh ranah politik. “Jadi, bisa dikatakan kekuasan keraton menciut. Dulunya punya kekuasaan politik, layaknya sebuah negara merdeka, kini hanya berkuasa secara kultural,” kata sejarawan UGM, Djoko Suryo.

Pemerintah pusat mengakomodasi kekuasaan Sultan lewat aturan keistimewaan. Aturan ini memuat ketetapan raja bertahta sebagai kepala daerah atau gubernur. Tak seperti nasib raja-raja lain di Nusantara, Sultan masih punya jangkauan politik di kancah pemerintahan modern.

Walau Sultan punya dua kaki di pusat pemerintahan daerah dan keraton, namun tak ada struktur yang mengikat keduanya. Tiap pemerintahan berjalan sendiri. Keraton bergerak sesuai sistem tata praja. Pemerintahan daerah berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di seluruh Indonesia.

Pengamat politik lokal Universitas Gadjah Mada, Arie Dwipayana, memberi contoh menarik.

Adalah GBPH Yudhaningrat, yang hendak berkarier sebagai birokrat. Meski dia Panglima Keprajuritan Keraton, Yudhaningrat tetap melewati aturan kepegawaian. Dia lalu mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil.

Begitu juga soal kenaikan pangkat. Sultan tak mencampuradukkan gelar keraton dan pangkat kepegawaian. “Buktinya, Yudhaningrat tak punya posisi penting dalam birokrasi pemerintahan,” kata Arie.

Meski demikian, tautan kultural antara sistem pemerintahan daerah dan keraton tak terhindarkan dalam konsep keistimewaan ini. Arie menyebutnya sebagai politik kebudayaan. 'Politik kebudayaan ada untuk mengikat struktur politik modern ke sistem politik tradisional,“ ujarnya.

Prosesi Grebeg Syawal yang diikuti bupati dan wali kota adalah potret paling nyata. “Kalau dipikir-pikir itu kan sama saja memposisikan bupati sebagai abdi dalem,“ ujar Arie. “Dulu juga pernah ada sistem di mana setiap bupati diberi gelar KRT. Tetapi sekarang sudah tidak berlaku.”

Kini, keistimewaan yang mengakomodasi kekuasaan Sultan di struktur pemerintahan modern, itu tengah diuji di tingkat pusat. Dalam draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, terbuka kemungkinan gubernur Yogyakarta bukan berasal dari kalangan keraton.

Jika itu terjadi, Sultan kelak hanya menjadi simbol kultural. Dengan posisi yang mungkin lebih baik dari raja-raja lain di nusantara. (Laporan Juna Sanbawa dan Fajar Sodiq, Yogyakarta | np)