Sunday, March 13, 2011

Garuda Masih di Dadaku

1800287620X310 Garuda Masih di Dadaku KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN Ilustrasi lambang negara

KOMPAS.com – Suara kicauan burung terdengar dari halaman belakang Wisma Indonesia di Sydney, Australia, Sabtu (12/3/2011) siang. Udara terasa sejuk berkat angin musim gugur yang mulai menghampiri Sydney.

Waktu itu, sebagian besar orang Indonesia yang datang ke Wisma Indonesia tampak kekenyangan karena baru selesai menyantap menu andalan, yakni rawon dan telur asin. Rasanya enak. Potongan dagingnya yang besar-besar membuat para penikmatnya semakin puas.

Seorang ibu yang memakai kebaya menyantap rawon dengan lahap. Ia makan sambil berdiri di halaman rumput di belakang Wisma Indonesia. Ia makan agak terburu-buru karena sebentar lagi pertemuan Wakil Presiden Boediono dengan warga Indonesia di Sydney akan dimulai.

Ibu yang lahir di Kota Yogyakarta itu tiba-tiba mengutarakan kegelisahannya kepada beberapa orang yang duduk kekenyangan di depannya. ”Aku heran. Ada banyak sekali mahasiswa Indonesia yang lulus tiap tahun di Australia, tetapi kok negaraku, Indonesia, tidak maju-maju. Di Brisbane saja, ada banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah,” ujar si ibu yang sejak 18 tahun silam menetap di Brisbane, Australia, karena menikah dengan warga Negeri Kangguru itu. Saat ini diperkirakan 18.000 orang Indonesia kuliah di Australia.

Ibu itu sedih karena berbagai persoalan terus mengimpit Indonesia, negeri kelahirannya. Berbagai kasus semisal korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi di Indonesia meski ada ribuan orang pandai Indonesia yang tiap tahun merampungkan studi di Australia.

Seorang lawan bicaranya mencoba memberikan jawaban atas kegelisahannya itu. ”Mungkin karena banyak orang Indonesia yang lulus di Australia tidak pulang dan malah bekerja di negeri lain,” kata salah satu lawan bicaranya.

Ibu yang bernama Fenti itu menggelengkan kepala. ”Bukan itu penyebabnya. Setelah saya pelajari, penyebab Indonesia tidak maju-maju adalah birokrasinya yang bobrok,” tuturnya.

Wujud birokrasi bobrok, menurut dia, antara lain, dapat dilihat dari berbagai kasus keterlambatan pengiriman uang biaya hidup bagi mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. ”Kasihan para mahasiswa. Serba kekurangan, eh, uang kiriman datang terlambat lagi,” tutur Fenti yang mengaku dirinya sudah dianggap seperti ibu kos oleh banyak mahasiswa Indonesia di Australia.

Maka, ia pun jengkel jika melihat ada pejabat Indonesia yang datang ke Australia dan berceramah tentang pentingnya peran mahasiswa bagi masa depan Indonesia. Ada ketidaksesuaian antara praktik dan omongan.

Toh, Fenti tetap cinta Indonesia. ”Garuda masih di dadaku, Mas,” katanya sambil menempelkan telapak tangannya ke dadanya saat ditanya mengapa tidak berganti kewarganegaraan.

Tidak lama kemudian, pertemuan dimulai. Di teras belakang yang berada lebih tinggi dari halaman rumput, Boediono bertatap muka dengan warga Indonesia.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh kemudian mendapat giliran bicara. Ia menyatakan betapa pendidikan adalah urusan penting yang tidak bisa dipisahkan dari manusia.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan tidak hadir. Namun, malam sebelumnya, ia ikut dalam pertemuan serupa di Wisma Indonesia di kota Canberra. Mangindaan waktu itu mengatakan, reformasi birokrasi adalah agenda nomor satu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono. Indonesia dicanangkan memiliki birokrasi kelas dunia tahun 2025.

Sayangnya, Fenti tidak pernah mendengar pernyataan Mangindaan itu. Namun, mendengar atau tidak mendengar rencana indah pemerintah untuk menciptakan birokrasi kelas dunia, rasanya Fenti tetap cinta Indonesia. Seberapa pun mengecewakannya, Indonesia tetap dicintai Fenti. ”Garuda di dadaku,” katanya bangga.