Saturday, March 12, 2011

Gagal, Mengaku Lalu Mundur




”Sayalah yang bertanggung jawab atas semua kegagalan itu, bukan orang lain.” Pernyataan Ali Sadikin di Kongres Ke-27 PSSI, Desember 1981, itu jelas dan tegas. Ia mundur dari jabatan sebagai Ketua Umum PSSI dan mengakui kegagalan PSSI sebagai tanggung jawabnya.


”Jujur, sportif, ksatria. Itu kriteria moral yang harus dimiliki mereka yang memimpin federasi olahraga apa pun,” kata Sumohadi Marsis, wartawan senior olahraga yang telah meliput sepak bola sejak kepemimpinan PSSI berada di tangan Maladi (1950-1959). ”Kalau melihat rekam jejak para pemimpin PSSI yang dulu-dulu, ya, seperti itu. Begitu gagal, mengakui, terus mundur.”


Hal serupa diakui mantan pelatih tim nasional Sinyo Aliandoe. ”Saya mengamati ketua umum PSSI sejak zaman Abdul Wahab (1960-1964). Jika merasa gagal, mereka akan mundur. Tak ada yang berambisi terus melanggengkan kekuasaan,” ujar Sinyo, seraya menambahkan, ”Ada semacam sikap ‘tahu diri’ pada sosok ketua umum PSSI sebelum era kepemimpinan saat ini.”


Setelah tiga tahun menjabat, Bang Ali mundur dari kursi Ketua Umum PSSI pada awal Oktober 1980, sekitar 14 bulan sebelum berakhirnya masa jabatan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan pengunduran dirinya dilakukan ”dengan penuh kesadaran dari saya sendiri”.


Ia mengaku banyak bergiat di dunia politik, tetapi tak ingin membawa-bawa nama PSSI dalam kegiatannya, apalagi mempersulit pengurus PSSI pusat dan daerah.


Menurut Bang Ali, PSSI adalah milik bangsa dan negara Indonesia yang harus diselamatkan. Karena itu, ia memilih mengundurkan diri. ”Ini menjadi bukti saya tidak mementingkan diri pribadi,” ujarnya (Kompas, 7/10/1980).


Sebelum dan sesudah Bang Ali, ada Bardosono (1975-1977), Syarnoebi Said (1982-1983), dan Azwar Anas (1991-1998) yang bertindak sama. Bardosono, misalnya, mengundurkan diri setahun sebelum berakhirnya masa jabatan. Ia menyerahkan tugas dan kewenangannya kepada Muhono, Ketua II PSSI ketika itu. Bardosono juga hanya bertahan hampir tiga tahun sejak menjabat pada Januari 1975.


Setelah terjadi kemelut di tubuh PSSI, Bardosono yang berkantor di Bina Graha sebagai Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan (Sesdalobang), sebuah jabatan politis di lingkar dalam Presiden Soeharto, pada Mei 1977 membuat pernyataan. Isinya, ia telah berupaya sekuat tenaga memajukan persepakbolaan Indonesia, tetapi ternyata kurang mendapat respons.


Gagal bawa timnas


Menyimak perjalanan sejarah kepemimpinan PSSI, sangat terasa betapa sejumlah ketua umum PSSI pada masa lalu sangat sadar akan pentingnya menunjukkan prestasi tim nasional selain menumbuhkan sistem kompetisi yang sehat dan membina pemain usia muda. Syarnoebi Said dan Azwar Anas adalah contoh ketua umum PSSI yang mengundurkan diri setelah kegagalan tim nasional. Syarnoebi mundur 1,5 tahun setelah menjabat, sedangkan Azwar mundur satu tahun menjelang jabatan periode keduanya berakhir.


Merasa telah berjanji secara lisan akan mengundurkan diri jika tim nasional gagal masuk final SEA Games XII 1983 di Singapura, Syarnoebi pun mundur pada Juni 1983. Alasan lain yang dijadikan dasar adalah kegagalan Pratama dan Galatama.


Ia mengaku telah banyak berbuat di dunia sepak bola, tetapi belum bisa membawa hasil memuaskan. ”Saya yakin seyakin-yakinnya, masih ada tokoh-tokoh sepak bola Indonesia yang lebih baik yang mampu membawa sepak bola ke arah lebih baik,” tulis Syarnoebi dalam surat pengunduran dirinya (Kompas, 11/6/1983).


Azwar Anas juga mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI untuk periode kedua. Kegagalan tim nasional Indonesia di arena Piala Tiger 1998—selain sanksi AFC tak boleh bermain di ajang internasional karena memainkan ”sepak bola gajah” melawan Thailand guna menghindari pertemuan dengan tuan rumah Vietnam—menjadi penyebab utama mundurnya Azwar pada September 1998.


Namun, beberapa bulan sebelumnya, secara terang-terangan Azwar yang saat itu adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI menyatakan tak bersedia dipilih lagi sebagai ketua umum PSSI. Alasannya, ia lelah dan ingin yang lebih muda maju.


Mengapa sulit


Lantas, mengapa Nurdin Halid tampak sulit sekali mengakui kegagalan?


”Meski seluruh negeri bilang ia gagal, ia tetap yakin dirinya berhasil,” kata Sumohadi. ”Parameter kesuksesan buat dia beda sekali. Kompetisi berjalan dan bisa masuk final AFF tiga kali dinilai sebagai prestasi tinggi. Padahal, AFF hanya tingkat Asia Tenggara.”


Di benak Sinyo juga timbul pertanyaan besar. ”Ada apa di belakang ini semua? Kok sampai Nurdin Halid, yang terlihat jelas banyak kelemahannya, tetap berkukuh menjadi ketua umum?” Mau tak mau, ia terpaksa bercuriga, ”Ada kepentingan lebih besar, entah itu finansial atau politis.”


Sinyo pun masih ingat bagaimana Nurdin Halid pernah mengaku kepada dia sebagai ”bukan orang bola”, tetapi ”orang politik”. ”Kalau begitu, apa politik akan masuk sepak bola? Lantas sepak bola dipolitikkan?” kata Sinyo bertanya-tanya.


Meski mengakui semasa Orde Baru ada semacam restu Soeharto bagi Ketua Umum PSSI, Sumohadi melihat posisi tertinggi di PSSI dulu tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu.


”Dulu Ketua Umum PSSI seperti bapak organisasi yang menggerakkan organisasi agar berjalan baik. Bukan bersikap membuat organisasi menjadi eksklusif, tertutup, dan seperti milik mereka sendiri,” tambahnya. ”Karena itu, dulu kalau gagal, ya mundur saja.”