Tuesday, December 28, 2010

Di Kamar Kost



Panggil aku Andi (bukan nama sebenarnya), aku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, fakultas kedokteran. Cerita ini bermula ketika aku secara tidak sengaja menemukan sebuah tempat kos yang ideal di pinggiran kota surabaya, walaupun tempatnya lumayan jauh dari fakultas tapi tempatnya sepi, cocok untuk aku menyelesaikan skripsiku.
Aku memang secara tidak sengaja menemukanya pada saat aku dalam perjalanan pulang dari rumah temanku. Ketika itu aku mampir di sebuah warung untuk makan dan disana aku berkenalan dengan pak Iwan dan iseng aku menanyakan apakah ada tempat kos di daerah sini. Dan ternyata dia menawarkan rumahnya yang tidak jauh dari situ untuk saya tempati dan ketika itu juga aku diajak melihat langsung ke rumahnya. Disana pak Iwan tinggal bertiga dengan Istrinya dan dengan keponakan perempuannya bernama Mila yang juga kuliah di salah satu PTN di Surabaya.
Pak Iwan berumur 38 th sedangkan bu Iwan berumur 33 tahunan, dan mereka sudah menikah tujuh tahun dan belum dikaruniai anak. Menuruntuku Bu Iwan adalah istri idaman para lelaki, dia anggun walaupun selalu mengenakan jilbab panjangnya. Dia juga jarang keluar rumah selain untuk pergi ke pasar dan ke pengajian. Karena jarang keluar rumah wajahnya terlihat halus putih dan terawat. Sedangkan pak Iwan karena pekerjaannya termasuk orang lapang karyawan di salah satu perusahaan telekomunikasi sehingga dia jarang ada di rumah. Dan karena itulah mungkin akhirnya kamar depan diputuskan untuk dikost. Katanya agar ada lelaki yang menjaga istri dan keponakannya saat dia tidak di rumah. Mila keponakannya merupakan aktivis sebuah ormas Islam dengan jilbabnya yang lebar dia juga jarang ada di rumah bahkan untuk menyapaku saja sangat jarang sekali. Paling-paling pulang kuliah langsung masuk kamar dan tidak keluar kecuali untuk makan dan masuk ke kamar mandi.
Sudah dua minggu aku disana dan aku bahkan tidak pernah melihat bu Iwan dan Mila tidak berjilbab saat di rumah. Dan hari itu, hari Sabtu, kebetulan aku tidak ada acara. Aku berniat menyelesaikan revisian skripsiku. Jam dinding sudah menunjukan jam 21.00, akupun dari pagi belum bertemu pak Iwan sama sekali, mungkin dia pergi ke luar kota untuk urusan dinas.

Akupun keluar kamar berniat ke kamar mandi. Dan ketika melintas di ruang tengah terlihat bu Iwan di depan TV dan rupanya dia ketiduran. TV pun masih menyala. Dan betapa kagetnya aku melihat bu Iwan yang gamisnya tersingkap dan terlihat kaki dan pahanya yang begitu indah. Jantungku pun berdetak sangat kencang.
Bu Iwan pun berbalik… kedua kakinya di telentangkan lebar-lebar. Rupanya dia tidak sadar posisi barunya sangat melihatkan bagian dalam dari gamisnya. Paha nya yang muluspun terlihat semakin jelas membuatku semakin terkesima. Dan ketika aku sedang asyik menikmati pemandangan indah itu bu Iwan pun terbangun, tampak dia terkejut dan malu ketika melihatku menikmati tubuhnya yang indah.
Wajahkupun merah padam karena malu.
“Maaf bu… saya mau melihat TV… Karena bosen di kamar terus…”, kataku mengelak. Bu Iwan ternyata tersenyum dan berkata, “tidak pa pa kok dik, nonton aja. Ibu juga lagi sendirian, Bapak sedang keluar kota ada urusan dinas, kalo Mila, tidak tahu tuh sudah tidur di kamarnya dari sore, kecapekaan habis ada acara di kampusnya… Dik.”, sapanya halus
“Ada apa bu?”, tanyaku.
“Ibu agak tidak enak badan nih. Kayaknya masuk angin. Ibu juga agak demam, dik Andi punya obatnya?”
“Aduh tidak ada bu… Atau ibu mau saya kerokin? Biar anginnya keluar. Saya biasa ngerokin ibu saya di rumah kalo ibu sakit.”
“Wah boleh tuh… tidka apa-apa nih ngerepotin dik andi?”, jawabnya.
“Gak pa pa bu… ni juga saya lagi nyante aja.”
Jantungku berdetak sangat keras ketika dia mulai membuka sebagian baju belakangnya.
“Permisi ya bu.”
“Iya dik tidak pa pa.”
Aku semakin membuka baju dan jilbabnya keatas.
Tubuh bu Iwan terlihat sangat putih dan mulus sekali, baru kali ini aku melihat tubuh seindah itu. Aku mulai mengoleskan minyak kayu putih ke punggungnya. Ku oleskan secara pelan-pelan sambil menikmati meraba-raba punggungnya.
“Hmmm…”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Kelihatanya bu Iwan juga sangat menikmatinya. Dan tanpa saya sangka-sangka tiba-tiba dia membalikan badannya dan memeluk saya. Dia menangis dan menceritakan bahwa ternyata pak Iwan impotensi dan selama ini dia tidak mendapatkan kepuasan batin dari suaminya.
“Dik Andi, gendong saya ke kamar dik.”, pintanya.
Akhirnya saya pun mengendong dirinya kekamarnya. Setelah itupun saya menciumi bibirnya. Hujan grimis yang sedari sore membuat gairah kami berdua semakin memuncak. Diapun semakin ganas menciumi bibir saya. Tanganku pun mulai melapaskan jilbab dan bajunya, dan dia juga membantu saya melepaskan baju dan celana saya.
Seketika kami sudah telanjang bulat dan berpelukan. Gairah kami sudah tidak tertahankan lagi. Bu Iwan pun akhirnya membuka sendiri rok panjangnya dan langsung memegang senjata saya dan mengarahkannya ke memeknya, “Aghh…”, dia mulai menggerang kenikmatan. Ohhh memeknya begitu sempit seperti perawan tidak sesuai dengan umur bu Iwan yang sudah 33 tahun.
Akupun mulai menggenjot tubuh bu Iwan.
“Aghhhh Andi pelan-pelan sayang..”
Akupun tidak peduli terus kupercepat sodokanku.
“Aaahhhh.. Ahhh…”, nafas bu Iwanpun semakin memburu. Diapun mulai menjambaki rambut saya dan mencengkram bahu saya.
“Ahh.. Ahhh…”, Bu Iwan mulai mendesah panjang, “Andi.. Ibu mau keluar nih..”
Aku semakin mempercepat goyanganku.. Bu Iwan juga terlihat mengimbangi goyanganku.
Dan tak lama terasa banyak cairan hangat di senjataku. Akup merasa mau ada yang keluar dari penisku… sehingga langsung saja kucabut dari memeknya dan langsung mengarahkannya ke mulut Bu Iwan dan akhirnya peniskupun memuntahkan isinya ke mulut Bu Iwan.
“Agghhh…”, akupun mendesah panjang.. Bu Iwan tampak kewalahan menelan pejuku yang memuncrat banyak sekali, setelah itu nafas kamipun berpelukan meskipun nafas kami masih tersengal sengal.
“Kamu hebat Andi…”, kata bu Iwan sambil mencium keningku.
Selanjutnya kamipun sering melakukannya kalo pak Iwan sedang bertugas di luar kota. Walaupun aku harus menggunakan kondom karena khawatir Bu Iwan sampai hamil. Kamipun juga sering mandi bersama bahkan pernah tengah malam bu Iwan datang ke kamarku waktu pak Iwan sedang terlelap tidur di kamarnya dan minta bercinta denganku. Baginya pak Iwan adalah suami pertamanya yang hanya memberinya nafkah lahiriah saja tapi aku adalah suami keduanya yang senantiasa bisa memuaskan akan kebutuhan biologisnya.