Tuesday, January 4, 2011

Suami, kekasih dan anak kost - 4

Kulirik jam tangan, jam sembilan lewat sepuluh.
'Jangan jauh-jauh Mas, waktuku terbatas.'
Saat makan siang aku harus sudah ada di rumah. Bang Mamat terkadang pulang untuk makan siang.
'Engga kok, bentar lagi sampai.'

Mobil masuk ke pintu gerbang yang dijaga Satpam, lalu berjalan pelan menyusuri bangunan-bangunan semacam bungalow. Seorang lelaki setengah berlari memandu mobil sampai ke pintu garasi. Mas Narto membawaku ke suatu motel tempat pasangan selingkuh berkencan. Ada rasa tidak enak sebenarnya. Tapi karena menyadari bahwa hari ini adalah pertemuan terakhir dengan mantan kekasihku ini, aku dapat menerima perlakuannya ini.

Di ujung garasi ada tangga ke atas dan berujung pada pintu. Melewati pintu ini kami masuk pada ruang dengan sofa set, ada TV besar, mini bar, dan kulkas. Lelaki tadi yang rupanya room-boy menyodorkan kuitansi dan langsung berlalu setelah menerima uang dari Mas Narto. Aku duduk di sofa.

'Udah sering ya bawa cewek ke sini..?'
'Eemm.. sering sih engga, sesekali. Maklumlah..'
'Jadi saya ini Mas anggap seperti mereka itu..?'
'Eit, jangan begitu dong, Yang. Ini cuma masalah tempat.'
'Ya, justru itu kenapa engga di rumah Mas aja..?'
'Adik Mas yang dari Jawa sekarang tinggal di rumah. Engga enak.'
Meskipun masih ada rasa tidak enak, kenyataannya aku tidak menolak ketika Mas Narto mulai menciumiku di sofa. Lalu menelanjangiku sebelum dia juga berbugil.

Lalu step berikutnya seperti yang sudah-sudah. Mas Narto merebahkanku di sofa, membuka kakiku lebar-lebar untuk menempatkan tubuhnya di antaranya, mengarahkan kepala penisnya ke selangkanganku, menekan, dan masuk. Lalu mulai bergoyang kiri-kanan dan memompa naik-turun. Tubuhnya kadang bertumpu di badanku sambil kedua lengannya mencengkeram, kadang bertumpu pada kedua telapak tangannya. Suatu proses tahap-tahap persetubuhan yang sama (dan biasa) yang dia lakukan beberapa hari lalu di rumahku.

Yang tidak biasa adalah ketika stimulasi yang dia lakukan mulai membuatku 'naik', Mas Narto telah 'selesai'. Ketika aku mulai merasa melayang-layang, tiba-tiba dihempaskan kembali ke bumi tanpa penyelesaian yang nikmat. Ketika aku sedang merambat naik menuju puncak kenikmatan, Mas Narto telah orgasme. Beberapa hari lalu Mas Narto mampu membawaku melayang tuntas, kali ini berbeda. Dia membuatku 'tanggung', rasa menggantung. Dia rupanya merasakan apa yang kurasakan.

Pada second round di kamar yang keempat dindingnya dipenuhi cermin, benar-benar berusaha membuatku 'tinggi'. Seluruh tubuhku di eksplore dengan sabarnya, tidak buru-buru masuk. Aktivitas Mas Narto di cermin yang sedang memompa tubuhku terlihat jelas dan mampu menambah rangsanganku. Bahkan ketika aku mengganjal kepalaku dengan bantal, aku dapat melihat keluar masuknya penis Mas Narto pada pintu vaginaku melalui cermin dinding di depanku. Aku memang sempat melayang tinggi, tapi apa boleh buat. Mas Narto lagi-lagi keburu selesai. Ah! Pertemuan perpisahan ini tak membuat kesan yang mendalam sebagaimana yang kami harapkan. Dua ronde persetubuhan hanya membuatku makin 'geli-geli' saja. Dan tentu saja aku lalu jadi gelisah sepanjang siang, sore sampai malam.

Malam harinya aku mencoba melampiaskan hasratku yang menggantung ini kepada Bang Mamat. Tapi lagi-lagi dia tidak memberikan response positif atas 'sinyal' yang kuberikan. Reaksi yang ditunjukkan Bang Mamat cukup membuatku maklum, dia sedang tidak berminat malam ini. Oh iya, ini memang bukan malam libur, masih 4 malam lagi, di mana Bang Mamat akan melaksanakan kewajibannya memberiku nafkah batin, yang terjadwal dan jarang berubah.

Ketika malam semakin larut, aku masih juga belum dapat tidur. Kupandangi wajah Bang Mamat yang terlelap nyenyak di sebelahku. Betapa damai wajahnya dan begitu bersih. Tiba-tiba aku merasa sedih dan lalu menangis. Teganya aku mengkhianati pria baik hati ini. Aku bangkit dan duduk di depan cermin. Kubuka kancing baju tidurku. Sepasang buah bulat kembar ini masih indah. Bang Mamat dan Mas Narto sering mengatakannya.

Apakah Bang Mamat sudah tidak tertarik akan keindahan ini? Dan Mas Narto, oh.. tadi siang dia begitu rakusnya menciumi dan mengulumi putingnya. Bahkan dia berniat menggigiti dan dengan tegas kularang. Aku berdiri. Kupandangi tubuh bagian bawahku lewat cermin. Lengkungan-lengkungan itu masih menggiurkan. Begitu pula yang dikatakan dua pria terdekatku. Perutku masih dapat dikatakan rata, setelah punya anak. Bawahnya lagi..? Oh, lagi-lagi aku menangis. Menyesali mengapa aku mengijinkan penis lain selain milik Bang Mamat memasukinya?

Lama aku terisak pelan sendirian. Untung Bang Mamat begitu pulas. Seandainya dia tahu aku menangis terus bertanya kenapa, bagaimana aku menjawabnya? Untunglah kini Mas Narto telah pergi jauh, ke Kalimantan. Seandainya suatu saat dia datang lagi dan mengajak berhubungan seks, aku akan mampu menolak tegas. Selain karena rasa bersalah pada Bang Mamat, juga karena Mas Narto 'sama saja' dalam hal kualitas persetubuhan. Padahal aku sudah berkorban dengan mengkhianati Bang Mamat.

***

Tadi malam susah tidur membuatkan pagi ini tidak fresh. Hari ini baby siter minta cuti, mau pulang kampung, tugasnya diambil alih oleh pembantu. Aku beranjak hendak mandi ketika kulihat si Iyem (nama samaran) kerepotan menjemur pakaian sambil momong anakku.
'Yem, kamu urus Randy aja ya, biar Ibu yang jemur pakaian.'
'Baik, Nyah.'

Letak jemuran ada di samping rumah, persis di belakang bangunan kamar-kamar kost.
'Pagi, Mbak.'
Dari sejak menerima kost dulu aku biasa dipanggil 'Mbak' oleh anak-anak kost. Sampai sekarang pun begitu walau aku sudah menikah dan punya anak satu.
'Pagi, baru berangkat..?'
'Iya Mbak, ada kuliah jam 10, mari Mbak.'
'Yuk.'

Hubunganku dengan anak-anak kost memang sekedar bertegur sapa dan berbasa-basi saja. Aku meneruskan kerjaanku. Kurasakan anak tadi tidak langsung beranjak, tetap ditempatnya dan menatapiku. Kupikir mungkin dia terheran, tidak biasanya aku menjemur pakaian, pekerjaan yang biasa dilakukan Iyem. Merasa ditatap begitu dengan sendirinya aku pun melihat ke arahnya. Mendadak anak itu mengalihkan pandangan, agak kaget, dan langsung berlalu.

Apa yang aneh pada diriku? Anak tadi seperti mencuri-curi pandang. Oh! Kancing depan dasterku ada yang terlepas, belahan dadaku jadi lebih terbuka. Cepat-cepat kubetulkan. Sialan anak itu. Bukan hanya belahan dadaku saja yang sempat dilihatnya. Beberapa kali tadi aku sempat membungkuk mengambil pakaian basah dari ember. Celaka dua belas! Aku tidak memakai bra! Aku baru sadar, tadi memang berniat mau mandi. Bahkan ternyata hanya daster ini saja satu-satunya pakaian yang kukenakan sekarang.

Begitulah kalau aku mau mandi. Aku berniat mau masuk untuk berganti baju, tapi ah, tanggung, tinggal beberapa potong yang harus dijemur, sudah itu baru mandi, pikirku. Aku jadi merasa seksi, dadaku berguncang-guncang ketika bergerak membungkuk atau mengangkat ke atas. Di beberapa bagian dasterku basah kena cipratan air cucian makin mempertegas bentuk tubuhku. Apalagi di bagian dada.

Ups..! Dari sudut mataku aku melihat di salah satu jendela kamar kost suatu sosok bayangan di balik viltrage. Sosok bayangan kepala sedang mengintipku. Lelaki muda memang suka iseng tapi masih takut-takut. Aku pura-pura tidak tahu dengan meneruskan pekerjaanku, toh tidak lama lagi. Kubiarkan Si Pengintip ini menikmati guncangan-guncangan tubuhku, pusing tanggung sendiri. Dan rupanya aku 'menemukan' cara untuk mengisi kesepian yang makin memuncak ini dengan 'acara jemur pakaian' tiap pagi.

Mungkin aku sudah gila. Entahlah. Aku menjemur pakaian yang sebelumnya merupakan tugas Iyem, dan dengan pakaian seadanya. Kadang hanya berdaster seperti tempo hari, atau pakai celana pendek dan t-shirt longgar panjang sampai menutupi celana pendek, sehingga seolah hanya kaos itu saja yang kukenakan. Tapi kalau sedang berkaos aku tidak berani melepas bra, bulatan kembarku terlalu kentara. Herannya, aku menikmati sensasi baru saat sosok bayangan di jendela mulai muncul mengintipku.

Berdasarkan letak jendela, aku memperkirakan si Pengintip ini adalah Tono (sebut saja begitu) atau Andi (samaran juga). Tono adalah yang biasa mewakili teman-temannya bicara dengan induk semang (Ayah, Ibu, atau kadang-kadang aku) untuk urusan perkost-an. Rupanya ia dianggap pemimpin oleh rekannya, mungkin karena dia penghuni paling lama. Andi adalah mahasiswa paling senior.

Suatu pagi Tono masuk ke rumah utama ingin bicara dengan induk semang. Karena Ayah dan Ibu sedang tidak ada di rumah, maka dia bicara kepadaku.
'Gini Mbak, akhir-akhir ini ruang tamu jarang dibersihkan,' katanya.
Matanya menatapku, hanya sebentar, lalu pandangannya turun ke dadaku.
'Oh iya.'

Aku mengenakan celana jeans dan t-shirt ketat. Tidak heran kalau matanya tertuju ke dadaku. Walaupun aku mengenakan bra, tapi ketatnya kaosku menyebabkan kedua bukitku makin menonjol.
'Gini Dik, kebetulan saat ini Si Nah lagi pulang kampung. Tugas-tugasnya dikerjakan oleh Si Iyem. Bahkan saya sendiri membantu tugas Iyem. Nanti kalo Nah udah balik pasti dibersihkan. Atau nantilah saya nyuruh Si Iyem kalau kerjaannya udah beres.'
'Oh maaf Mbak, saya engga tahu kalo Si Inah pulang kampung, kirain dia mulai males..'

Lagi-lagi Aku menangkap basah bola matanya sedang menatapi dadaku.
'Oo.. engga, tolong Dik Tono bisa ngerti ya..'
'Iya Mbak, saya hanya menyampaikan keluhan teman-teman. Nanti saya sampaikan sama mereka. Ngomong-ngomong, Babe kemana Mbak..?'
Jelas sekali, jakun Tono turun-naik. 'Babe' memang cara anak kost memanggil Ayahku.
'Lagi pacaran ama Nyak tuh..' Lalu diam.

Kurasa Si Tono ini salah tingkah. Biasanya dia tak begitu. Apa karena dia tertangkap sedang menatapi dadaku?
'Mari Mbak, terima kasih.'
'Yuk.'
Dari gelagatnya aku jadi yakin, yang setiap pagi mengintipku menjemur pakaian adalah Tono. Apalagi dia jadi sering datang sewaktu aku sedang sendiri di rumah.

Alasannya macam-macam, mengisi air minum, pinjam majalah, ngajak main Randy dan lain-lain. Setiap kedatangannya selalu saja dia mencuri-curi pandang menatapi dadaku sambil menelan ludah. Pandangan matanya menyiratkan dia menginginkanku, seolah dia ingin menelanku bulat-bulat, tapi aku tahu dia ragu-ragu, takut, atau tidak tahu cara memulainya.

Anak ini memang menarik. Suka menolong dan sifat kepemimpinannya menonjol. Tapi salah dia kalau berharap mendapatkanku. Aku tidak berminat lagi untuk bermain api. Affair-ku dengan Mas Narto yang mantan kekasih saja membuatku merasa bersalah.

Tiba-tiba aku punya ide nakal untuk mengganggu Tono. Aku punya rencana tampil lebih 'menggiurkan' ketika Tono datang dan ketika aku menjemur pakaian. Biarlah dia semakin tersiksa. Buat 'fun' saja mengisi kesepian. Asal tidak sampai 'jatuh' ke pelukan Tono, kenapa tidak? Dasar perempuan kurang kerjaan..!

Pagi ini aku sibuk memilih pakaian yang seksi untuk diintip Tono. Celana pendek plus kaos longgar, ah ini sudah pernah. Bagaimana kalau kali ini no-bra? Perubahan yang terlalu drastis. Atau baju tidur tipis yang biasa kupakai tanpa pakaian dalam untuk 'membangunkan' Bang Mamat, tapi dengan pakaian dalam. Aku ngaca. Ah, tubuhku nampak, pakaian dalamku terlihat jelas. Tidak pantas. Akhirnya kupilih daster pendek model tank-top yang bahannya tidak terlalu tipis. Bahu dan bagian atas dadaku terbuka, belahannya nampak jelas, juga separoh pahaku terbuka. Membungkuk sedikit saja kedua bulatannya tampak.

Bersambung . . .