JAKARTA: Tim Khusus DPR untuk permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi merekomendasikan pemerintah untuk melakukan pengetatan penempatan TKI informal yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga ke Arab Saudi.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz yang juga Koordinator Tim Khusus DPR itu dalam surat elektronik yang dikirimkan dari Jeddah, Arab Saudi, Senin (25/4) menegaskan, pengetatatan itu untuk mengatasi kasus-kasus TKI bermasalah yang jumlahnya cukup besar di Arab Saudi.
Irgan bersama sembilan anggota Tim Khusus DPR dari sembilan fraksi berada di Arab Saudi sejak beberapa hari lalu untuk mengevaluasi keberadaan TKI Bermasalah yang ada di Arab Saudi.
Keberadaan mereka di sana sekaligus mengawasi dan melepas pemulangan ke Tanah Air 2.349 WNI/TKI “overstayers” dari Pelabuhan Jeddah dengan menggunakan kapal motor Labobar milik PT Pelni pada Jumat (22/4) malam waktu setempat atau Sabtu (23/4) dini hari.
Ia mengatakan hasil evaluasi Tim Khusus DPR mengenai keberadaan TKI bermasalah ataupun WNI/TKI yang terkena kasus hukum di Arab Saudi memberi gambaran terhadap nasib TKI yang tidak tersentuh keadilan hukum secara memadai.
Irgan yang juga Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan menegaskan evaluasi dari Tim Khusus DPR perlu menjadi masukan bagi pemerintah agar lebih berorientasi pada peningkatan penempatan TKI berkualitas serta bermartabat.
Dengan demikian harus ada pembenahan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dalam proses penempatan TKI dimulai dari hulu atau saat perekrutan calon TKI.
Tim Khusus DPR berharap BNP2TKI hanya menempatkan TKI penata laksana rumah tangga ke Arab Saudi yang siap bekerja sekaligus memahami hukum dan budaya negara penempatan.
Sementara itu, upaya melatih calon TKI untuk bekerja di Arab Saudi yang telah dikembangkan BNP2TKI juga perlu dikukuhkan lagi kapasitasnya sehingga tidak harus terpaku dengan sistem pelatihan 200 jam bilamana TKI masih rawan permasalahan, katanya. “Kalau perlu disamakan pelatihannya dengan calon TKI ke Hong Kong dan Taiwan yaitu 600 jam,” katanya menegaskan.
Hal itu perlu dilakukan sebagai jalan keluar atas berkembangnya permasalahan TKI di Arab Saudi yang memang cukup memprihatinkan. Menurut Irgan, di samping mengubah standar waktu pelatihan, penempatan TKI ke Arab Saudi juga harus mengedepankan tertib dokumen dan kelayakan sertifikasi calon TKI lainnya.
Sedangkan terkait sistem hukum Arab Saudi yang dipandang belum mampu melindungi TKI, Tim Khusus DPR merekomendasikan pemerintah Indonesia dapat mendesak pihak Kerajaan Arab Saudi melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dalam penempatan dan perlindungan TKI.
Sebab, kata Irgan, menjadi sangat aneh Indonesia yang menempatkan TKI penata laksana rumah tangga terbesar di Arab Saudi (sekitar 1,5 juta orang) namun tanpa memiliki dasar atau kesepakatan perlindungan yang jelas dan terdokumen oleh negara.
Dalam kaitan tersebut, Tim Khusus DPR juga menyampaikan opsi agar pemerintah melakukan moratorium penempatan TKI penata laksana rumah tangga ke Arab Saudi sampai dicapainya MoU kedua pihak.