BANJARMASIN, KOMPAS.com – Baru 18 persen dari 8.000-an segmen batas wilayah daerah otonom kota/kabupaten di Indonesia yang selesai penegasannya. Sisanya, 82 persen belum bisa dipastikan kapan selesai.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Timbul Pujianto, selama ini penetapan batas wilayah sudah ada pada undang-undang pembentukan masing-masing daerah otonom. Hanya saja, karena batas itu hanya terdapat pada skala peta, maka perlu penegasan batas-batas riil di lapangan.
"Batas wilayah yang sudah beres (penegasannya) kebanyakan di Jawa. Di sana batas-batas wilayah orang desa tahu. Sedang di daerah luas dengan penduduk sedikit, seperti Papua, orang jarang tahu di mana batas wilayahnya," tutur Timbul, Senin (25/4/2011) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Masalah batas wilayah berpotensi memicu konflik, baik yang melibatkan masyarakat secara langsung maupun di tataran pemerintah daerah. Konflik itu muncul terutama bila menyangkut keberadaan potensi sumber daya alam di batas wilayah itu.
Timbul mengungkapkan, masih ada kelemahan di dalam pembentukan daerah otonom selama ini. Kelemahan itu menyangkut batas wilayah. "Ketika sebuah daerah otonom dibentuk maka yang langsung dipikirkan adalah kantor kepala daerah. Batasnya lupa. Tapi ketika di situ ada sumber daya alam baru ribut," katanya.
Sementara itu menanggapi batas wilayah Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Gubernur Kalsel Rudy Arifin menyatakan ingin mengikuti prosedur. Ia juga meminta kedua pemerintah kabupaten bisa menghormati hasilnya nanti.
"Jadi ada verifikasi. Dirjen Pemerintahan Umum dan tim sudah datang dan mereka akan ke lapangan. Tahap selanjutnya tinggal pengambilan keputusan oleh Mendagri. Kami menunggu semoga cepat ada hasilnya," papar Rudy.