MAGELANG, KOMPAS.com - Sebanyak 152 kepala keluarga korban erupsi dan banjir lahar dingin yang tinggal di sekitar Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berminat ikut program transmigrasi. Cara ini dinilai sebagai salah satu solusi untuk memulai hidup baru dan menghindari dampak bencana serupa di tahun-tahun mendatang.
Sekretaris Daerah Kabupaten Magelang Utoyo mengatakan, lokasi transmigrasi bagi mereka adalah di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Kendatipun demikian, realisasi dari keinginan masyarakat ini masih menunggu instruksi selanjutnya dari pemerintah pusat.
"Karena program transmigrasi adalah program yang dibiayai APBN, maka kami pun harus mempersiapkannya dengan hati-hati seturut instruksi dari pemerintah pusat," ujarnya, Senin (25/4/2011).
Sebanyak 152 KK tersebut diantaranya berasal dari Kecamatan Salam, dan Srumbung. Sembari menunggu, Pemkab Magelang saat ini juga terus berkoordinasi dengan dua pemerintah provinsi tersebut, dan menanyakan kebutuhan apa saja yang perlu dipersiapkan.
Setelah kondisi sudah berangsur aman dan banjir lahar dingin tidak lagi terjadi, Pemkab Magelang bekerjasama dengan akademisi akan meneliti daerah-daerah terdampak erupsi dan banjir lahar dingin, dan memetakan daerah-daerah mana yang dianggap berbahaya dan tidak layak dijadikan lokasi hunian.
Selain transmigrasi, masyarakat yang tinggal di lokasi berbahaya tersebut nantinya akan direlokasi. "Mereka nantinya akan ditempatkan di hunian permanen di lokasi yang aman dari bencana erupsi dan banjir lahar dingin," ujarnya.
Sarmudi (56), salah seorang warga Dusun Glagah, Desa Sirahan, Kecamatan Salam, mengatakan, transmigrasi dianggap menjadi pilihan yang tepat untuk memulai hidup baru.
Selain karena aman dari bencana, dia pun optimis akan kembali memulihkan perekonomian keluarga karena di lokasi transmigrasi sudah tersedia lapangan pekerjaan yang pasti seperti menjadi buruh tani di perkebunan kelapa sawit.
"Saya sudah bosan menganggur. Saya sudah empat bulan tinggal di lokasi pengungsian, namun tidak bisa melakukan apa-apa karena rumah rusak dan sawah hanyut terbawa banjir," ujarnya.
Nursiyem (52), warga lainnya, juga memilih transmigrasi karena dia sudah trauma dan tidak ingin lagi kembali tinggal di rumahnya di Dusun Glagah.
Erupsi Gunung Merapi terjadi lima tahun sekali, dan itu berarti akan kembali diikuti banjir lahar dingin. "Saya tidak ingin terus-menerus menjadi korban dan terkena dampak banjir secara rutin setiap lima tahun sekali," ujarnya.