Tuesday, December 28, 2010

Kekecewaan Vivi Akan Suaminya, Seks Pasutri 1


Perkenalkan nama saya Nendi umur 29 tahun, saya bekerja di sebuah auberge berbintang tiga di kota “B”. Seperti kebanyakan orang bekerja yang kadang membuat kita jenuh, untuk mengatasinya aku sering mengunjungi situs CeritaPanasDewasa.com, sampai akhirnya saya terobsesi untuk menulis cerita ini.


Cerita ini berawal dari pulang kemalaman dengan seorang sekretaris teman sekantor di bagian lain, namanya Vivi berperawakan sintal dengan kulit putih dan tinggi badan yang sedang-sedang saja sekitar 165 cm. Sebetulnya Vivi bukanlah tipe orang yang ramah walaupun dia seorang sekretaris, mungkin karena om-nyalah dia ada di posisi tersebut. Oh ya, Vivi juga sudah menikah kira-kira satu setengah tahun yang lalu, dan saya pernah beberapa kali ketemu dengan suaminya.


*****


Pagi itu pada saat jam masuk kantor aku berpapasan dengannya di pintu masuk, seperti biasa kita saling tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Ah lucu juga kita yang sudah kenal beberapa tahun masih melakukan kebiasaan seperti itu, padahal untuk hitungan waktu selama tiga tahun kita harus lebih akrab dari itu, tapi mau bagaimana lagi karena Vivi orangnya memang seperti itu jadi akupun terbawa-bawa, aku sendiri bertanya-tanya apakah sifatnya yang seperti itu hanya untuk menjaga jarak dengan orang-orang di lingkungan kerja atau memang dia punya pembawaan seperti itu sejak lahir.


Mungkin saat itu aku sedang ketiban mujur, tepat di pintu masuk entah apa penyebabnya tiba-tiba saja Vivi seperti akan terjatuh dan refleks aku meraih tubuhnya dengan maksud untuk menahan supaya dia tidak benar-benar terjatuh, tapi tanpa sengaja tanganku menyentuh sesuatu di bagian dadanya. Setelah dapat berdiri dengan sempurna Vivi memandang ke arahku sambil tersenyum, ya ampun menurutku itu merupakan sesuatu yang istimewa mengingat sifatnya yang kuketahui selama ini.


“Terima kasih Pak nendi, hampir saja aku terjatuh.”


“Oh, nggak apa-apa, maaf barusan tidak sengaja.”


“Tidak apa-apa.”


Seperti itulah chat yang terjadi pagi itu. Walaupun nggak mau mikirin terus kejadian tersebut tapi aku tetap merasa kurang enak karena telah menyentuh sesuatu pada tubuhnya walaupun nggak sengaja, waktu kutengok ke arah meja kerjanya melalui kaca pintu ruanganku dia juga kelihatannya kepikiran dengan kejadian tersebut, untung waktu masuk kerja masih empat puluh lima menit lagi jadi belum ada orang, seandainya pada saat itu sudah banyak orang mungkin dia selain merasa kaget juga akan merasa malu.


Aku kembali melakukan rutinitas keseharian menggeluti angka-angka yang yang nggak ada ujungnya. Sudah kebiasaanku setiap tiga puluh menit memandang gambar panorama yang kutempel dikaca pintu ruanganku untuk menghindari kelelahan pada mata, tapi ternyata ada sesuatu yang lain di seberang pintu ruanganku pada hari itu, aku melihat Vivi sedang memandang ke arah yang sama sehingga pandangan kami bertemu. Lagi, dia tersenyum kearahku, aku malah jadi bertanya-tanya ada apa gerangan dengan cewek itu, aku yang geer atau memang dia jadi lain hari ini, ah mungkin hanya pikiranku saja yang ngelantur.


Jam istirahat makan seperti biasa semua orang ngumpul di EDR untuk makan siang, dan suatu kebetulan lagi waktu nyari tempat duduk ternyata kursi yang kosong ada di sebelah Vivi, akhirnya aku duduk disana dan menyantap makanan yang sudah kuambil. Setelah selesai makan, kebiasaan kami ngobrol ngalor-ngidul sambil menunggu waktu istirahat habis, karena aku duduk disebelah dia jadi aku ngobrol sama dia, padahal sebelumnya aku males ngobrol sama dia.


“Gimana kabar suaminya vi?” aku memulai percakapan


“Baik pak.”


“Trus gimana kerjaannya? masih di tempat yang dulu?”


“Sekarang sedang meneruskan studi di amerika, baru berangkat satu bulan yang lalu.”


“Oh begitu, baru tahu aku.”


“Ingin lebih pintar katanya pak.”


“Ya baguslah kalau begitu, kan nantinya juga untuk acropolis depan berdua.”


“Iya pak.”


Setelah jam istirahat habis semua kembali ke ruangan masing-masing untuk meneruskan kerjaan yang tadi terhenti. Akupun kembali hanyut dengan kerjaanku.


Pukul setengah tujuh aku bermaksud beres-beres karena penat juga kerja terus, tanpa sengaja aku nengok ke arah pintu ruanganku ternyata Vivi masih ada di mejanya. Setelah semua beres akupun keluar dari ruangan dan bermaksud untuk pulang, aku melewati mejanya dan iseng aku nyapa dia.


“Kok tumben hari gini masih belum pulang?”


“Iya pak, ini baru mau pulang, baru beres, banyak kerjaan hari ini”


Aku merasakan gaya bicaranya lain hari ini, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang kalau bicara selalu kedengaran resmi, yang menimbulkan rasa tidak akrab.


“Ya udah kalo begitu kita bareng aja.” ajakku menawarkan.


“Tidak usah pak, biar aku pulang sendiri saja.”


“Nggak apa-apa, ayo kita bareng, ini udah terlalu malam.”


“Baik Pak kalau begitu.”


Sambil berjalan menuju tempat parkir kembali kutawarkan jasa yang walaupun sebetulnya niatnya hanya iseng saja.


“Gimana kalo vivi bareng aku, kita kan searah.”


“Nggak usah pak, biar aku pakai angkutan umum atau taksi saja.”


“Lho, jangan gitu, ini udah malem, nggak baik perempuan jalan sendiri malem-malem.”


“Baik kalau begitu pak.”


Di sepanjang jalan yang dilalui kami tidak banyak bicara sampai akhirnya aku perhatikan dia agak lain, dia kelihatan murung, kenapa ini cewek.


“Lho kok kelihatannya murung, kenapa?” tanyaku penasaran.


“Nggak apa-apa pak.”


“Nggak apa-apa kok ngelamun begitu, perlu teman buat ngobrol?” tanyaku memancing.


“Nggak ah pak, malu.”


“Kok malu sih, nggak apa-apa kok, ngobrol aja aku dengerin, kalo bisa dan perlu mungkin aku akan bantu.”


“Susah mulainya pak, soalnya ini terlalu pribadi.”


“Oh begitu, ya kalo nggak mau ya nggak usah, aku nggak akan maksa.”


“Tapi sebetulnya memang aku perlu orang untuk teman ngobrol tentang masalah ini.”


“Ya udah kalo begitu obrolin aja sama aku, rahasia dijamin kok.”


“Ini soal suami aku pak.”


“Ada apa dengan suaminya?”


“Itu yang bikin aku malu untuk meneruskannya.”


“Nggak usah malu, kan udah aku bilang dijamin kerahasiaannya kalo vivi ngobrol ke aku.”


“Anu, aku sering baca buku-buku mengenai hubungan suami istri.”


“Trus kenapa?”


“aku baca, akhir dari hubungan badan antara suami istri yang bagus adalah orgasme yang dialami oleh keduanya.”


“Trus letak permasalahannya dimana?”


“Mengenai orgasme, aku sampai dengan saat ini aku hanya sempat membacanya tanpa pernah merasakannya.”


Aku sama sekali nggak pernah menduga kalo pembicaraannya akan mengarah kesana, dalam hati aku membatin, masa sih kawin satu setengah tahun sama sekali belum pernah mengalami orgasme? timbul niatku untuk beramal:-)


“Masa sih vi, apa betul kamu belum pernah merasakan orgasme seperti yang barusan kamu bilang?”


“Betul pak, kebetulan aku ngobrolin masalah ini dengan bapak, jadi setidaknya bapak bisa memberi masukan karena mungkin ini adalah masalah laki-laki.”


“Ya, gimana ya, sekarang kan suami vivi lagi nggak ada, seharusnya waktu suami vivi ada barengan pergi ke ahlinya untuk konsultasi masalah itu”


“Pernah beberapa kali aku ajak suami aku, tapi menolak dan akhirnya kalau aku singgung masalah itu hanya menimbulkan pertengkaran diantara kami.”


Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan tanpa terasa pula kami sudah sampai didepan rumah Vivi, Aku bermaksud mengantar dia sampai depan pintu rumahnya.


“Tidak usah pak, biar sampai sini saja.”


“Nggak apa-apa, takut ada apa-apa biar aku antar sampai depan pintu.”


Dasar, kakiku menginjak sesuatu yang lembek ditanah dan hampir saja terpeleset karena penerangan di depan rumahnya agak kurang. Setelah sampai di teras rumahnya kulihat kakiku, ternya yang kunjak tadi adalah sesuatu yang kurang enak untuk disebutkan, sampai-sampai sepatuku sebelah kiri hampir setengahnya kena.


“Aduh Pak nendi, gimana bell itu kakinya.”


“Nggak apa-apa, nanti aku cuci kalo udah nyampe rumah.”


“Dicuci disini aja pak, nanti nggak enak sepanjang jalan kecium baunya.”


“Ya udah, kalo begitu aku ikut ke toilet.”


Setelah membersihkan kaki aku diperliahkan duduk di ruang tamunya, dan ternyata disana sudah menunggu segelas kopi hanngat. Sambil menunggu kakiku kering kami berbincang lagi.


“Oh ya vi, mengenai yang kamu ceritakan tadi di jalan, gimana cara kamu mengatasinya?”


“aku sendiri bingung Pak harus bagaimana.”


Mendengar jawaban seperti itu dalam otakku timbul pikiran kotor lelaki.


“Gimana kalau besok-besok aku kasih apa yang kamu pengen?”


“Yang aku mau yang backbone pak.”


“Lho, itu yang sepanjang jalan kamu bilang belum pernah ngalamin.”


“Ah bapak bisa aja.”


“Bener kok, aku bersedia ngasih itu ke kamu.”


Termenung dia mendengar perkataanku tadi, melihat dia yang sedang menerawang aku berpikir kenapa juga harus besok-besok, kenapa nggak sekarang aja selagi ada kesempatan.


Kudekati dia dan kupegang tangannya, tersentak juga dia dari lamunannya sambil menatap kearahku dengan penuh tanda tanya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya dan kukecup pipi sebelah kanannya, dia diam tidak bereaksi. Ku kecup bibirnya, dia menarik napas dalam entah apa yang ada dipikirannya dan tetap diam, kulanjutkan mencium hidungnya dan dia memejamkan mata.


Ternyata napsu sudah menggerogoti kepalaku, kulumat bibirnya yang tipis dan ternyata dia membalas lumatanku, bibir kami saling berpagut dan kulihat dia begitu meresapi dan menikmati adegan itu. Kitarik tangannya untuk duduk disebelahku di daybed yang lebih panjang, dia hanya mengikuti sambil menatapku. Kembali kulumat bibirnya, lagi, dia membalasnya dengan penuh semangat.


Dengan posisi duduk seperti itu tanganku bisa mulai bekerja dan bergerilya. Kuraba bagian dadanya, dia malah bergerak seolah-olah menyodorkan dadanya untuk kukerjain. Kuremas dadanya dari luar bajunya, tangan kirinya membuka kancing baju bagian atasnya kemudian membimbing tangan kananku untuk masuk kedalam BHnya. Ya ampun bener-bener udah nggak tahan dia rupanya.


Kulepas tangan dan bibirku dari tubuhnya, aku berpindah posisi bersandar pada pegangan daybed tempatku duduk dan membuka kalkiku lebar-lebar. Kutarik dia untuk duduk membelakangiku, dari belakang kubuka baju dan BHnya yang saat itu sudah nempel nggak karuan, kuciumi leher bagian belakang Vivi dan tangan kiri kananku memegang gunung di dadanya masing-masing satu, dia bersandar ketubuhku seperti lemas tidak memiliki tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri dan mulai kuremas payudaranya sambil terus kuciumi tengkuknya.


Setelah cukup absolutist meremas buah dadanya tangan kiriku mulai berpindah kebawah menyusuri bagian perutnya dan berhenti di tengah selangkangannya, dia melenguh waktu kuraba bagian itu. Kusingkap roknya dan tanganku langsung masuk ke celana dalamnya, kutemukan sesuatu yang hangat-hangat lembab disana, sudah basah rupanya. Kutekan klitorisnya dengan jari tengah tangan kiriku.


“Ohh .. ehh ..”


Aku semakin bernapsu mendengan rintihannya dan kumasukkan jariku ke vaginanya, suaranya semakin menjadi. Kukeluar masukkan jariku disana, tubuhnya semakin melenting seperti batang plastik kepanasan, terus kukucek-kucek semakin cepat tubuhnya bergetar menerima perlakuanku. Dua puluh menit lamanya kulakukan itu dan akhirnya keluar suara dari mulutnya.


“Udah dulu pak, aku nggak tahan pengen pipis.”


“Jangan ditahan, biarkan aja lepas.”


“Aduh pak, nggak tahan, vivi mau pipis .. ohh .. ahh.”


Badanya semakin bergetar, dan akhirnya.


“Ahh .. uhh.”


Badanya mengejang beberapa saat sebelum akhirnya dia lunglai bersender kedadaku.


“Gimana vi rasanya?”


“Enak pak.”


Kulihat air matanya berlinang.


“Kenapa kamu menangis vi.”


Dia diam tidak menyahut.


“Kamu nyesel udah melakukan ini?” tanyaku.


“Bukan pak.”


“Lantas?”


“aku bahagia, akhirnya aku mendapatkan apa yang aku idam-idamkan selama ini yang seharusnya datang dari suami aku.”


“Oh begitu.”


Kami saling terdiam beberapa saat sampai aku lupa bahwa jari tengah tangan kiriku masih bersarang didalam vaginanya dan aku cabut perlahan, dia menggeliat waktu kutarik jari tanganku, dan aku masih tercenung dengan kata-kata terakhir yang terlontar dari mulutnya, benar rupanya .. dia belum pernah merasakan orgasme.


“Mau ke kamar mandi pak?”


Tiba-tiba suara itu menyadarkanku dari lamunan ..


“Oh ya, sebelah backbone kamar mandinya?”


“Sebelah sini pak”, sahutnya sambil menunjukkan jalan menuju kamar mandi.


Dia kembali ke ruang tamu sementara aku mencuci bagian tangan yang tadi sudah melaksanakan tugas sebagai seorang laki-laki terhadap seorang perempuan. Tak habisnya aku berpikir, kenapa orang berumah tangga sudah sekian absolutist tapi si perempuan baru mengalami orgasme satu kali saja dan itupun bukan oleh suaminya.


Ke bagian 2