Begitu aku keluar sosok di jendela itu sudah nampak. Kadang aku sengaja berlama-lama membungkuk dan menghadap ke arah jendela. Aku tidak tahu apa reaksi Tono melihat penampilanku dan tingkahku pagi ini. Aku senyum-senyum sendiri. Selesai menjemur kusuruh Iyem membersihkan ruang tamu kamar kost, aku momong Randy. Tepat seperti yang kuduga, Tono masuk, berbasa-basi sebentar lalu ambil koran dan duduk.
Masih mengenakan pakaian yang tadi tentu saja pahaku makin terbuka karena duduk. Aku tidak peduli beberapa kali mata Tono menatapi dadaku bergantian pahaku. Tidak hanya menelan ludah, beberapa kali kulihat Tono menghela napas. Wajahnya yang mulai merah dan napas yang agak tersengal menandakan 'aroma' nafsunya.
'Rasain lu..' kataku dalam hati.
Ah.. seandainya Bang Mamat bernafsu melihatku seperti Tono sekarang.
Sepi demi sepi yang berhasil kulalui ini tampaknya akan semakin meningkat. Sabtu malam sehabis kami bertiga aku, Bang Mamat, dan Randy jalan-jalan sekalian belanja ke Mall 'X', aku telah siap tergolek di ranjang dengan pakaian tidur seksi kesukaan Bang Mamat dan tanpa pakaian dalam. Aku berharap malam ini, seperti setiap malam libur, kami dapat menikmati hubungan suami-isteri sehingga dahagaku yang telah sepekan kurasakan dapat terpenuhi.
Beberapa saat setelah Bang Mamat merebahkan diri di sampingku, aku seperti biasa mulai 'mengganggunya' dengan menyilangkan sebelah kakiku ke tubuhnya dan menggesek-gesek. Belum ada reaksi. Kugosokkan paha telanjangku ke selangkangannya. Bang Mamat memelukku. Kukeluarkan buah dadaku dari baju tidur dan menyodorkan ke mulutnya dan dia mulai menciuminya. Bang Mamat memang suka 'netek', tidak kalah dengan anaknya. Putingku disedot-sedotnya, nafsuku mulai merambat naik, di bawah sana mulai terasa lembab.
Tanganku mulai menyusup di balik sarung Bang Mamat dan terus merambat naik. Biasanya telapak tanganku akan langsung 'berjumpa' dengan ketegangan di dalam sana, tapi kali ini aku harus menarik dulu tali elastis CD-nya (tumben, Bang Mamat masih mengenakan CD-nya) sebelum mengelusi batang zakar kesayanganku. Batang yang belum keras benar, telapak tanganku harus bekerja keras untuk mengeraskannya, sementara kelembaban di selangkanganku telah berdenyut-denyut minta 'dipenuhi'.
Hanya dengan melepas baju tidurku aku sudah bugil, lalu kutelanjangi Bang Mamat dan tubuhnya kuraih jadi menindih tubuhku. Kubuka kakiku lebar-lebar menunggu dengan memejamkan mata. Menunggu saat-saat nikmat ketika milik Bang Mamat memenuhi selangkanganku yang telah lembab 'matang' dan berdenyut. Bang Mamat dengan gagahnya memposisikan kedua lututnya di antara bentangan kakiku, lalu tubuhnya merendah.
Saat nikmatpun dimulai, kurasakan benda itu menempel di mulut vaginaku, lalu menekan, kemudian melesak, dan.. aahh.. Aku menikmati gesekan di dinding-dinding vaginaku sebelum akhirnya seluruh batang penis Bang Mamat tenggelam. Nikmatnya saat 'pemenuhan' ini susah diceritakan, pokoknya nikmat. Aku mulai menggoyang pantatku dan tubuh Bang Mamat mulai mundur maju. Tidak hanya pinggulku yang beraksi, tangan, dada, kepalaku bergoyang. Tentu saja termasuk mulutku. Aku pun mulai mendaki lereng bukit terjal kenikmatan hubungan seks.
Tapi apa yang terjadi tidak seperti biasanya. Puncak itu terasa masih jauh ketika tubuh Bang Mamat mengejang. Kejangan tubuh yang khas menandakan pemiliknya telah sampai di puncak mendahuluiku. Aku merasa 'ditinggal' di lereng bukit dan 'digantung'. Tanda-tandanya sudah kurasakan waktu Bang Mamat memasuki tubuhku tadi. Ereksinya tidak begitu keras. Apa boleh buat, aku harus menerima.
Tahun-tahun pertama bersama kami masih dapat mulai pendakian lagi, tapi beberapa tahun terakhir ini Bang Mamat tidak pernah 'nambah'. Sebenarnya tidak masalah benar kalau tadi aku juga dapat menyelesaikan pendakianku. Tapi kini.., kuhabiskan sisa malam dengan terisak di tengah dengkuran Bang Mamat. Aku harus menunggu minggu depan. Betapa lamanya menunggu minggu depan itu dengan selangkangan yang selalu 'membara'.
***
Malam-malam berikutnya kuisi dengan pergulatan bathin yang hebat. Pergulatan antara tetap setia kepada Bang Mamat dan mengundang masuk Tono, si anak kost. Ah, seandainya Mas Narto tidak di Kaltim. Mas Narto? Sama saja! Toh dia juga 'menggantungku' di lereng bukit! Yang sedang kupikirkan memang Si Tono. Mengajak Tono bersetubuh adalah mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Perilakunya akhir-akhir ini mengisyaratkan dia sudah begitu 'siap' menerkamku. Tapi janjiku pada diriku sendiri untuk setia kepada Bang Mamat setelah Mas Narto pergi, menghalangi niatku.
Pada malam keempat akhirnya keputusanku sudah bulat, mengundang Tono! Resiko apa pun yang akan terjadi, aku siap menanggungnya. Begitulah, didorong oleh keputusanku yang bulat Kamis pagi ini kembali aku menggelar 'aksi menjemur pakaian' yang setengah gila, hanya dengan T-shirt panjang sebagai penutup tubuhku! Tidak heran kalau ketika selesai menjemur pakaian aku duduk di sofa, Tono mendatangiku.
Eh, ternyata aku jadi amat gugup di hadapan Tono dengan pakaian gila ini. Apalagi Tono terus menatapi dadaku (yang tercetak bulat oleh T-shirt). Aku semakin salah tingkah. Yang jelas aku tidak akan memulai. Menunggu apa yang akan dilakukan anak muda ini. Ingin tahu bagaimana dia memulainya.
'Mbak, boleh saya minta tolong?' katanya. Suaranya agak serak.
'Tolongin apa?'
'Saya tahu Mbak pandai menulis.'
'Tahu dari mana?'
'Saya sering baca tulisan Mbak di tabloid Anu.'
Aku memang sering mengirimkan tulisan ke tabloid wanita itu.
'Ah, itu hanya iseng aja,' kataku.
'Ya, tapi bahasa Mbak bagus dan enak.'
Aha, dia mulai merayu.
'Trus, saya bisa nolong apa?'
'Gini, tolong periksa makalah saya ini, terutama dari bahasanya.'
Taktis juga dia.
'Bahasa makalah kan beda sama bahasa tulisan populer.'
'Ayolah Mbak..'
Tono beranjak sambil membawa lembaran-lembaran kertas dan duduk di sebelahku, meletakkan kertas-kertas itu di pangkuanku. Aku berdebar. Duduknya begitu dekat. Lalu dia menunjukkan bagian-bagian tulisannya untuk kukoreksi. Kesempatan dia untuk menekan-nekan pahaku. Aku merinding dibuatnya. Puting dadaku mengeras. Napasnya kudengar memburu, dan eh, ternyata aku juga begitu, tiba-tiba aku jadi sesak napas.
Aku memang membaca tulisan itu, tapi tidak satu pun menempel di otakku. Dari sudut mataku aku melihat, Tono tidak memandangi tulisannya lagi, tapi matanya bergantian menatapku dan dadaku. Oh, puting dadaku begitu jelas menonjol, aku yakin Tono dapat dengan jelas melihatnya. Aku jadi malu. Risih ditatap begitu, aku menoleh. Wajah kami begitu berdekatan.
'Kenapa?' Ah, suaraku juga serak!
'Mbak..'
'Hmm..?'
'Mbak cantik.' Aku tidak komentar. 'Dan seksi.'
Lagi-lagi rayuan. Setelah itu apa?
Tidak kusangka Tono begitu nekat. Diciumnya bibirku. Aku berontak. Kertas di pangkuanku bertebaran ke lantai.
'Ton..!' teriakku begitu bibirku terbebas.
Tono bukannya mundur, malah tangannya merangkul bahuku dan memeluknya erat-erat, sementara kembali bibirnya mencari-cari bibirku. Dia melumatku lagi. Berontakku berikutnya hanya pura-pura saja. Aku menyerah, apalagi lumatan bibirnya mulai membuatku melayang.
Tangannya melepaskan pelukan dan pindah ke dadaku, meremas. Remasan kasar sebetulnya, tapi aku mulai menikmatinya. Remasan yang masih terhalang kain kaos. Kain bukan halangan bagi Tono, dia bahkan dapat 'menemukan' putingku dan memelintirnya. Pelintiran kasar juga, yang tidak nyaman bagiku, bahkan cenderung sakit. Oleh karenanya aku jadi tersadar dan melepaskan ciumannya. Dengan refleks aku menoleh ke belakang.
'Engga ada orang Mbak, Tono sendirian.'
Tono menangkap maksudku. Aku bangkit.
'MBak..' Tono juga bangkit mengikutiku.
Kubiarkan. Aku hendak mengunci pintu, siapa tahu Randi dan pengasuhnya masuk.
Aku kembali ke sofa dan Tono langsung menubrukku. Eh, dadanya sudah telanjang, entah kapan dia melepas bajunya. Aku rebah, Tono menindihku. Sesuatu yang keras menekan pahaku. Leher T-shirtku ditariknya ke bawah lalu diciuminya dadaku. Ditariknya lagi kaosku sampai bibirnya dapat mencapai puting dadaku, dan dikemotnya. Tangannya menelusuri pahaku dan terus menyusup ke atas. Aku cegah tangannya. Aku malu kalau dia tahu aku tidak pakai CD. Aku juga mencegah tangannya yang berusaha menarik ujung bawah kaosku. Aku tidak mau dia melihat milikku lebih dulu sebelum dia telanjang bulat.
Beberapa kali usahanya melucutiku kutolak, Tono seolah mengerti maksudku. Dia bangkit dan turun dari sofa, lalu mencopot celana jeans-nya. Kurang ajar, Tono tidak pakai CD! Kurang ajar lagi, penisnya itu beda. Maksudku dibanding milik Bang Mamat dan Mas Narto (memang hanya dua orang itu yang pernah kulihat miliknya). Besarnya sih tidak berbeda dengan milik suami dan mantan kekasihku tadi, hanya panjangnya lebih dan bagian ujungnya (mulai dari sebelum leher) sedikit melengkung ke atas. Lengkungan kecil yang justru menambah 'indah'-nya barang itu. Satu hal lagi yang menambah nilai, warnanya muda dan mulus. Kesan keseluruhan (dalam keadaan tegang) panjang mengacung dan 'bersih'.
'Kenapa Mbak..?' rupanya Tono melihatku lama menatap miliknya. Aku tidak komentar.
'Kecil ya Mbak..?'
Lelaki cenderung menganggap miliknya 'tidak sesuai ukuran ideal', tapi kalau ditanya berapa ukurannya cenderung melebihkan, kata literatur.
'Panjang..' komentarku jujur.
'Ah masa..?' katanya dengan roman wajah senang.
Kedua belah tangannya lalu menelusuri pahaku sambil menyingkap ujung kaosku, aku membiarkannya.'Hah..!' serunya kaget, matanya berbinar menatapi selangkanganku yang bugil.
'Dari tadi Mbak engga pakai CD ya..? Ah..!' tubuhnya membungkuk dan sejurus kemudian kurasakan kelembutan lidah Tono bermain di bawah sana.
Kilikannya menunjukkan bahwa Tono berpengalaman dalam hal ini. Aku memejamkan mata dan menggigit bibir menahan sesuatu, hanya sebentar, keluar juga eranganku. Geli-geli enak. Hanya sebentar juga, Tono bangkit dan mengarahkan senjatanya siap masuk, lagi-lagi Aku merem menunggu.
Uh! Sialan nih anak, kasar benar.
'Aduh.. pelan-pelan dong Ton.'
'Oh.. maaf Mbak.. habis engga sabaran.'
Tono jadi lebih berhati-hati, pompaannya yang lebih perlahan justru memberikan sensasi lain. Sensasi yang ditimbulkan dari gesekan pada relung-relung vaginaku oleh panjangnya penis.
Bersambung . . .
Masih mengenakan pakaian yang tadi tentu saja pahaku makin terbuka karena duduk. Aku tidak peduli beberapa kali mata Tono menatapi dadaku bergantian pahaku. Tidak hanya menelan ludah, beberapa kali kulihat Tono menghela napas. Wajahnya yang mulai merah dan napas yang agak tersengal menandakan 'aroma' nafsunya.
'Rasain lu..' kataku dalam hati.
Ah.. seandainya Bang Mamat bernafsu melihatku seperti Tono sekarang.
Sepi demi sepi yang berhasil kulalui ini tampaknya akan semakin meningkat. Sabtu malam sehabis kami bertiga aku, Bang Mamat, dan Randy jalan-jalan sekalian belanja ke Mall 'X', aku telah siap tergolek di ranjang dengan pakaian tidur seksi kesukaan Bang Mamat dan tanpa pakaian dalam. Aku berharap malam ini, seperti setiap malam libur, kami dapat menikmati hubungan suami-isteri sehingga dahagaku yang telah sepekan kurasakan dapat terpenuhi.
Beberapa saat setelah Bang Mamat merebahkan diri di sampingku, aku seperti biasa mulai 'mengganggunya' dengan menyilangkan sebelah kakiku ke tubuhnya dan menggesek-gesek. Belum ada reaksi. Kugosokkan paha telanjangku ke selangkangannya. Bang Mamat memelukku. Kukeluarkan buah dadaku dari baju tidur dan menyodorkan ke mulutnya dan dia mulai menciuminya. Bang Mamat memang suka 'netek', tidak kalah dengan anaknya. Putingku disedot-sedotnya, nafsuku mulai merambat naik, di bawah sana mulai terasa lembab.
Tanganku mulai menyusup di balik sarung Bang Mamat dan terus merambat naik. Biasanya telapak tanganku akan langsung 'berjumpa' dengan ketegangan di dalam sana, tapi kali ini aku harus menarik dulu tali elastis CD-nya (tumben, Bang Mamat masih mengenakan CD-nya) sebelum mengelusi batang zakar kesayanganku. Batang yang belum keras benar, telapak tanganku harus bekerja keras untuk mengeraskannya, sementara kelembaban di selangkanganku telah berdenyut-denyut minta 'dipenuhi'.
Hanya dengan melepas baju tidurku aku sudah bugil, lalu kutelanjangi Bang Mamat dan tubuhnya kuraih jadi menindih tubuhku. Kubuka kakiku lebar-lebar menunggu dengan memejamkan mata. Menunggu saat-saat nikmat ketika milik Bang Mamat memenuhi selangkanganku yang telah lembab 'matang' dan berdenyut. Bang Mamat dengan gagahnya memposisikan kedua lututnya di antara bentangan kakiku, lalu tubuhnya merendah.
Saat nikmatpun dimulai, kurasakan benda itu menempel di mulut vaginaku, lalu menekan, kemudian melesak, dan.. aahh.. Aku menikmati gesekan di dinding-dinding vaginaku sebelum akhirnya seluruh batang penis Bang Mamat tenggelam. Nikmatnya saat 'pemenuhan' ini susah diceritakan, pokoknya nikmat. Aku mulai menggoyang pantatku dan tubuh Bang Mamat mulai mundur maju. Tidak hanya pinggulku yang beraksi, tangan, dada, kepalaku bergoyang. Tentu saja termasuk mulutku. Aku pun mulai mendaki lereng bukit terjal kenikmatan hubungan seks.
Tapi apa yang terjadi tidak seperti biasanya. Puncak itu terasa masih jauh ketika tubuh Bang Mamat mengejang. Kejangan tubuh yang khas menandakan pemiliknya telah sampai di puncak mendahuluiku. Aku merasa 'ditinggal' di lereng bukit dan 'digantung'. Tanda-tandanya sudah kurasakan waktu Bang Mamat memasuki tubuhku tadi. Ereksinya tidak begitu keras. Apa boleh buat, aku harus menerima.
Tahun-tahun pertama bersama kami masih dapat mulai pendakian lagi, tapi beberapa tahun terakhir ini Bang Mamat tidak pernah 'nambah'. Sebenarnya tidak masalah benar kalau tadi aku juga dapat menyelesaikan pendakianku. Tapi kini.., kuhabiskan sisa malam dengan terisak di tengah dengkuran Bang Mamat. Aku harus menunggu minggu depan. Betapa lamanya menunggu minggu depan itu dengan selangkangan yang selalu 'membara'.
***
Malam-malam berikutnya kuisi dengan pergulatan bathin yang hebat. Pergulatan antara tetap setia kepada Bang Mamat dan mengundang masuk Tono, si anak kost. Ah, seandainya Mas Narto tidak di Kaltim. Mas Narto? Sama saja! Toh dia juga 'menggantungku' di lereng bukit! Yang sedang kupikirkan memang Si Tono. Mengajak Tono bersetubuh adalah mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Perilakunya akhir-akhir ini mengisyaratkan dia sudah begitu 'siap' menerkamku. Tapi janjiku pada diriku sendiri untuk setia kepada Bang Mamat setelah Mas Narto pergi, menghalangi niatku.
Pada malam keempat akhirnya keputusanku sudah bulat, mengundang Tono! Resiko apa pun yang akan terjadi, aku siap menanggungnya. Begitulah, didorong oleh keputusanku yang bulat Kamis pagi ini kembali aku menggelar 'aksi menjemur pakaian' yang setengah gila, hanya dengan T-shirt panjang sebagai penutup tubuhku! Tidak heran kalau ketika selesai menjemur pakaian aku duduk di sofa, Tono mendatangiku.
Eh, ternyata aku jadi amat gugup di hadapan Tono dengan pakaian gila ini. Apalagi Tono terus menatapi dadaku (yang tercetak bulat oleh T-shirt). Aku semakin salah tingkah. Yang jelas aku tidak akan memulai. Menunggu apa yang akan dilakukan anak muda ini. Ingin tahu bagaimana dia memulainya.
'Mbak, boleh saya minta tolong?' katanya. Suaranya agak serak.
'Tolongin apa?'
'Saya tahu Mbak pandai menulis.'
'Tahu dari mana?'
'Saya sering baca tulisan Mbak di tabloid Anu.'
Aku memang sering mengirimkan tulisan ke tabloid wanita itu.
'Ah, itu hanya iseng aja,' kataku.
'Ya, tapi bahasa Mbak bagus dan enak.'
Aha, dia mulai merayu.
'Trus, saya bisa nolong apa?'
'Gini, tolong periksa makalah saya ini, terutama dari bahasanya.'
Taktis juga dia.
'Bahasa makalah kan beda sama bahasa tulisan populer.'
'Ayolah Mbak..'
Tono beranjak sambil membawa lembaran-lembaran kertas dan duduk di sebelahku, meletakkan kertas-kertas itu di pangkuanku. Aku berdebar. Duduknya begitu dekat. Lalu dia menunjukkan bagian-bagian tulisannya untuk kukoreksi. Kesempatan dia untuk menekan-nekan pahaku. Aku merinding dibuatnya. Puting dadaku mengeras. Napasnya kudengar memburu, dan eh, ternyata aku juga begitu, tiba-tiba aku jadi sesak napas.
Aku memang membaca tulisan itu, tapi tidak satu pun menempel di otakku. Dari sudut mataku aku melihat, Tono tidak memandangi tulisannya lagi, tapi matanya bergantian menatapku dan dadaku. Oh, puting dadaku begitu jelas menonjol, aku yakin Tono dapat dengan jelas melihatnya. Aku jadi malu. Risih ditatap begitu, aku menoleh. Wajah kami begitu berdekatan.
'Kenapa?' Ah, suaraku juga serak!
'Mbak..'
'Hmm..?'
'Mbak cantik.' Aku tidak komentar. 'Dan seksi.'
Lagi-lagi rayuan. Setelah itu apa?
Tidak kusangka Tono begitu nekat. Diciumnya bibirku. Aku berontak. Kertas di pangkuanku bertebaran ke lantai.
'Ton..!' teriakku begitu bibirku terbebas.
Tono bukannya mundur, malah tangannya merangkul bahuku dan memeluknya erat-erat, sementara kembali bibirnya mencari-cari bibirku. Dia melumatku lagi. Berontakku berikutnya hanya pura-pura saja. Aku menyerah, apalagi lumatan bibirnya mulai membuatku melayang.
Tangannya melepaskan pelukan dan pindah ke dadaku, meremas. Remasan kasar sebetulnya, tapi aku mulai menikmatinya. Remasan yang masih terhalang kain kaos. Kain bukan halangan bagi Tono, dia bahkan dapat 'menemukan' putingku dan memelintirnya. Pelintiran kasar juga, yang tidak nyaman bagiku, bahkan cenderung sakit. Oleh karenanya aku jadi tersadar dan melepaskan ciumannya. Dengan refleks aku menoleh ke belakang.
'Engga ada orang Mbak, Tono sendirian.'
Tono menangkap maksudku. Aku bangkit.
'MBak..' Tono juga bangkit mengikutiku.
Kubiarkan. Aku hendak mengunci pintu, siapa tahu Randi dan pengasuhnya masuk.
Aku kembali ke sofa dan Tono langsung menubrukku. Eh, dadanya sudah telanjang, entah kapan dia melepas bajunya. Aku rebah, Tono menindihku. Sesuatu yang keras menekan pahaku. Leher T-shirtku ditariknya ke bawah lalu diciuminya dadaku. Ditariknya lagi kaosku sampai bibirnya dapat mencapai puting dadaku, dan dikemotnya. Tangannya menelusuri pahaku dan terus menyusup ke atas. Aku cegah tangannya. Aku malu kalau dia tahu aku tidak pakai CD. Aku juga mencegah tangannya yang berusaha menarik ujung bawah kaosku. Aku tidak mau dia melihat milikku lebih dulu sebelum dia telanjang bulat.
Beberapa kali usahanya melucutiku kutolak, Tono seolah mengerti maksudku. Dia bangkit dan turun dari sofa, lalu mencopot celana jeans-nya. Kurang ajar, Tono tidak pakai CD! Kurang ajar lagi, penisnya itu beda. Maksudku dibanding milik Bang Mamat dan Mas Narto (memang hanya dua orang itu yang pernah kulihat miliknya). Besarnya sih tidak berbeda dengan milik suami dan mantan kekasihku tadi, hanya panjangnya lebih dan bagian ujungnya (mulai dari sebelum leher) sedikit melengkung ke atas. Lengkungan kecil yang justru menambah 'indah'-nya barang itu. Satu hal lagi yang menambah nilai, warnanya muda dan mulus. Kesan keseluruhan (dalam keadaan tegang) panjang mengacung dan 'bersih'.
'Kenapa Mbak..?' rupanya Tono melihatku lama menatap miliknya. Aku tidak komentar.
'Kecil ya Mbak..?'
Lelaki cenderung menganggap miliknya 'tidak sesuai ukuran ideal', tapi kalau ditanya berapa ukurannya cenderung melebihkan, kata literatur.
'Panjang..' komentarku jujur.
'Ah masa..?' katanya dengan roman wajah senang.
Kedua belah tangannya lalu menelusuri pahaku sambil menyingkap ujung kaosku, aku membiarkannya.'Hah..!' serunya kaget, matanya berbinar menatapi selangkanganku yang bugil.
'Dari tadi Mbak engga pakai CD ya..? Ah..!' tubuhnya membungkuk dan sejurus kemudian kurasakan kelembutan lidah Tono bermain di bawah sana.
Kilikannya menunjukkan bahwa Tono berpengalaman dalam hal ini. Aku memejamkan mata dan menggigit bibir menahan sesuatu, hanya sebentar, keluar juga eranganku. Geli-geli enak. Hanya sebentar juga, Tono bangkit dan mengarahkan senjatanya siap masuk, lagi-lagi Aku merem menunggu.
Uh! Sialan nih anak, kasar benar.
'Aduh.. pelan-pelan dong Ton.'
'Oh.. maaf Mbak.. habis engga sabaran.'
Tono jadi lebih berhati-hati, pompaannya yang lebih perlahan justru memberikan sensasi lain. Sensasi yang ditimbulkan dari gesekan pada relung-relung vaginaku oleh panjangnya penis.
Bersambung . . .