Cerita ini berawal dari hoby, hoby seorang pemuda yang suka bermain biliard, dan hoby itu berbuah kenikmatan seks di ranjang, banyak yang tak terduga terjadi, dan kadang hal yang tak terduga itulah yang menjadi kenikmatan yang luar biasa di atas ranjang. berikut cerita lengkapnya. Nikmatnya cewek Biliard.
Aku seorang pria lajang bernama Hans dengan tinggi badan 172 cm dan berat 68 kg, berpenampilan lumayanlah untuk sekedar memikat para wanita. Aku sejak berumur 20 tahun sudah hidup berdikari. Aku kuliah (sekarang sudah lulus) dan bekerja. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku, baik untuk makan, bayar kuliah, atau sekedar untuk bersenang- senang. Di suatu senja selepas kuliah kira-kira pukul 18 :45 aku langsung memacu motorku ke tempat nongkrong di gang Bangau di Senen. Di sana kehadiranku sangat diharapkan karena aku agak ngocol kalau diajak bercanda. “Hei Hans acara elo kemana nih ntar malam,” sapa seorang teman sesampainya di sana. “Tau Lim (Kimlin) gue bingung nih, gue sih bisa kemana aja, emangnya anak-anak pada mau kemana?” “Tau tuh. Tapi si Franki ngajakin nyodok (istilah main bilyard). Mau nggak Hans?” kata Kimlin. “Gue mah boleh aja tapi anak-anak yang lain mau nggak?” “Hans, anak-anak sih mau soalnya wasitnya banyak yang cakep,” “Loh mau nyodok di mana? Bukan di tempat biasa?” “Di Hanggar.” “O.. enak nggak di sana mejanya?” “Lebih enak lagi,” Kata si monyet temanku. “Ya udah kalo anak- anak mau sih.” Akhirnya kami semua berangkat ke lokasi. Sesampainya di sana kami langsung mencari meja kosong. Tentunya satu meja untuk beramai-ramai (yang kalah main ganti orang biar agak irit mainnya). Aku melihat sekeliling ruangan. Bagus juga tempatnya. Memang sih wasitnya cakep-cakep. Sambil melihat-lihat, Aku menangkap sesosok wajah yang boleh dibilang paling cantik sih dibanding wasit yang lainnya di tempat itu. “Hei Hans giliran elo tuh..” “Ha eh sorry lagi liat-liat nih,” kataku. Setelah aku memukul bola, kudekati wasit yang sedang menghitung di meja kami. “Mbak, wasit yang itu namanya siapa sih?” sambil menunjuk sosok cantik yang kulihat tadi. “Kenapa tanya wasit itu? Cakep kan?” “Iya sih boleh juga.” “Sinta namanya. Kenapa naksir ya?” “Nggak,” kataku “Kamu kayaknya baru sekali yach dateng ke mari (tempat bilyard maksudnya).” “Iya..” “Makanya sering-sering dong kemari.” Aku tersenyum sambil menjawab, “Iya deh..!” Keesokan harinya aku balik lagi ke sana. Sama anak-anak lagi. Tentunya menunggu wasit yang bernama Sinta itu. Dan akhirnya bisa juga diwasitin sama si Sinta. Wah semangat banget anak-anak mainnya. Ada juga yang menggoda. Aku lebih memilih untuk duduk diam sambil ngobrol sama Sinta sambil mengomentari anak- anak yang bermain bilyard.
Sambil mengomentari anak- anak main, diam-diam aku melihat lekuk tubuh Sinta. Dia badannya bagus. Terlihat dari kaos ketat yang dia pakai. Dengan ukuran payudara sekitar 34B. Pinggulnya juga tidak terlalu besar. Yah isintal lah untuk seorang wanita. Dan yang lebih wah lagi ternyata Sinta merupakan wasit primadona di sana. Jadi banyak juga pemain bilyard yang mau mengincar dia, baik diwasitin, ataupun yang lain. Ya temasuk aku juga sih. Akhirnya kami ngobrol. Aku bertanya macam-macam, tentunya pura-pura kenalan dulu sekedar basa-basi. “Sinta,” katanya (sambil berjabat tangan). “Hans. Kamu udah lama jadi wasit di sini?” aku membuka percakapan. “Hmm.. lama juga. Hampir 8 bulan.” “Wah lumayan juga yach.” “Iya.” “Kamu umur berapa Sinta?” “Baru 20,” katanya. “Kamu?” dia balik bertanya. “Udah 23 (umur saya saat itu). Kenapa?” “Ah nggak pa-pa. Kamu kayaknya baru-baru aja yach main di sini.” “Iya. Kok tau?” kataku. “Iya nggak pernah keliatan,” sambil tersenyum. “Sering-sering dong kemari,” katanya. “Wow pasti, soalnya ada Sinta sih.” dia cuma tersenyum.
Berawal dari obrolan itu akhirnya aku sering main bilyard di situ, dengan Sinta sebagai wasit tentunya. Terkadang aku pun sering menawarkan sesuatu seperti m inuman atau makanan (di luar gedung suka banyak orang yang jualan). Di samping itu aku pun berniat untuk mendapatkan dia. Yah untuk iseng aja soalnya aku dulu suka sekali nyobain perempuan- perempuan baik perempuan baik-baik maupun yang nakal. Tapi setelah kupikir, saingannya banyak juga karena yang bermain di sana matanya pasti melihat ke Sinta. Tatapan mereka pun bukan sekedar tatapan biasa tetapi bagaikan tatapan seekor singa yang sedang mengincar seekor domba. Aku sih cuek aja soalnya aku menganggap ini suatu kompetisi. Namanya juga lagi usaha. Jadi kalau dapat syukur nggak dapat ya udah. Lagi pula Sinta sepertinya memberikan lampu hijau kepadaku kalau dilihat dari sikapnya setelah beberapa kali aku datang dan diwasitin olehnya. Setelah melihat sikap Sinta seperti itu, aku mencoba untuk berbicara kepadanya (berbicara serius tentunya). “Eh Sinta, kayaknya aku suka nih sama kamu.” rayuku gombal. “terus memangnya kenapa..?” tanyanya. “Kita jadiin yuk! mau ngak kamu..” Dia dia sejenak. “Kenapa?” Tanyaku, “Ada yang marah yach?” “Nggak. Siapa yang marah!?” “Nggak.. siapa tau aja..” kataku, “Jadi mau nih..” “Hmm,” sambil mengangguk. “Yes!” kataku dalam hati. Kami pun akhirnya resmi pacaran. Tapi aku tidak menganggap serius. Sinta pun kukira begitu. Jadi sekedar have fun saja. Kebetulan, dalam hatiku.
Setelah kejadian tersebut aku jadi lebih sering datang ke sana terutama malam. Terkadang aku datang sendiri, terkadang bersama Kimlin, terkadang rame-rame. Yah sekedar setor muka sekalian ngobrol- ngobrol. Jika Sinta tidak ngewasitin kita, setelah selesai ngewasitin meja lain dia langsung ke meja kami. Aku pun terus berpikir, “Gile nih Sinta.. Body oke.. gue udah bisa jalan sama dia.. masa sih gue ngak bisa ngedapetin tubuhnya!” Sampai suatu malam kucoba mengajak dia untuk main ke tempatku (kebetulan aku kost waktu itu). “Eh Sinta, acara kamu kemana selesai tugas?” “Nggak ke mana-mana kok.” “Main ke tempatku mau?” “Mmm (sambil berpikir) boleh..” Yes lagi dalam hatiku. Akhirnya dengan membonceng dia, kuajak Sinta ke tempat kost-ku yang lumanyan jauh jaraknya. “Yah beginilah tempat bujangan,” kataku membuka pembicaraan sesudah sampai di tempat kost-ku. “Lumayanlah buat ukuran kamu yang masih sendiri. Eh Hans, ngomong-ngomong ada yang marah nggak Sinta kemari?” sambil tesenyum. “Nggak kok,” kataku. “Ah masa sih? Sinta nggak percaya..” “Bener lagi (kebetulan aku masih single waktu itu), kenapa emangnya?” “Ah nggak apa-apa kok,” kata Sinta. “Sinta mau minum apa? teh manis yach?” kataku. “Boleh..” Kemudian aku mulai merebus air dan membuatkan teh manis untuk Sinta. Sesudah selesai aku membuatkan teh manis untuknya, kami mengobrol kembali dan ternyata Sinta sudah tiduran di kasur busa ruangan kost-ku.
Sambil menaruh cangkir teh di meja, aku mencoba untuk memeluknya. Ya ampun.. si junior mulai bereaksi juga nih. Soalnya dia sexy sekali. Apalagi waktu dia tiduran roknya agak tersingkap sehingga terlihat sedikit kulit mulus di balik roknya. Dengan sedikit senyum di wajahnya, dia menginginkan aku tidur di sebelahnya. Aduh mak.. bingung juga nih. Soalnya dia lebih agresif, diluar perkiraanku sih. Padahal aku ada rencana untuk memulainya. Tanpa menunggu lama lagi kubikin remang- remang ruangan di kamar kost-ku. Lalu aku tidur di sebelahnya. Deg- degan juga sih rasanya. Kemudian tanpa dikomando kami memulai saling berhadapan. Nggak tahu juga kenapa bisa bersamaan mulainya. Dia mulai memelukku kemudian aku memulai mencium keningnya. Lalu dia langsung membalas mencium leherku dan tanpa basa-basi lagi aku menyambar bibirnya yang mungil. Kemudian kami langsung berciuman dengan saling mengulum lidah kami. Gila! dalam hatiku. Nih cewek jago juga ciumannya. Kemudian dia membuka bajuku dan menempelkan lagi bibirnya di leherku. “Ssshh..” dengan lincahnya dia memainkan lidahnya di antara leher dan sekitar belakang telingaku. “Sshh.. eh Sinta..” “Hemm.. kenapa lagi Say?” katanya terkejut. “Nggak ada cupang- cupangan yach?” Kemudian dia langsung menya mbarkan lagi bibirnya dengan sedikit bernafsu. Busyet deh. Aku menggeliat sedikit sambil menghindar dan Sinta tersenyum. “Iya deh.. Nggak dicupang.” “Suer lho gue kan malu..” “Emang gue pikirin?” katanya. Setelah selesai berbicara aku langsung menyambar bibirnya. Kemudian tanganku berusaha melepaskan kaitan bra tanpa membuka busananya terlebih dahulu. Terbuka juga. Aku langsung mengarahkan tanganku ke payudaranya. Gile bener.. 34B, ukurannya pas segenggam. Kemudian aku memainkan puting susunya. “Mmmhh.. sshh..” desisnya. Melihat kelakuanku dia sadar juga. Akhirnya dia membuka baju yang dia kenakan malam itu, dan langsung menjulanglah dua gunung yang indah menantang itu.
Dia rupanya sudah mulai terangsang. Kemudian kuarahkan mulutku ke arah puting payudaranya, lalu kulumat puting susu yang ranum itu secara perlahan tapi pasti. Kujilat sekeliling puting susunya. “Mmmhh..” Dan dia pun sedikit mengejang. Mungkin akibat rangsangan yang ditimbulkan dari kuluman lidahku terhadap puting susunya. Sambil mengalungkan tangannya ke leherku, terkadang menjambak rambutku. “Ssshh.. aahh.. mmhh..” dia terus menikmati permainan lidahku terhadap putingnya. Tanpa terasa batang kemaluanku pun telah berdiri tegap. Terus terang pembaca, rasanya aku juga sudah mau keluar juga. Atas dasar itu aku menghentikan permainan lidahku dan langsung berbaring sebentar di sebelahnya. “Sinta.. nyantai dulu yah. Jangan terlalu nafsu. Aku kayaknya udah diujung nih.” Tanpa perkataan dia terus mengarahkan bibirnya ke puting susuku dan memainkan lidahnya. Sedikit menggeliat tubuhku karena menahan gejolak yang amat sangat. “Mmhh aahh..” Dia kemudian memainkan lidahnya dari dadaku sampai ke pusar. “Bener-bener deh nih cewek,” dalam hatiku. Sambil terus memainkan lidahnya bak mandi kucing, dia mulai membuka celana yang kupakai dan, “Ups..” batang kemaluanku sudah menjulang agak miring sedikit. Sambil terus menjilati, dia memainkan batang kemaluanku. Dia begitu agresif. Akupun tidak mau ketinggalan untuk melawan agresifnya. Aku pun mulai memainkan payudaranya lagi, dia tetap menjilati seluruh tubuhku. Karena posisinya agak nungging aku mencoba untuk memasukan tanganku ke dalam roknya. Tapi tanganku ditepis. “Lho..” dalam hatiku. Tanganku dipegang olehnya dan kemudian dia merubah posisinya menjadi agak tiduran. Kemudian dia berbicara, “Hans, Sinta aja yach yang puasin kamu..” “Lho kenapa?” aku bertanya keheranan. “Lagi M (mens) nih sorry nih..” Ya ampun kecele deh gue.
Sambil tersenyum aku mengangguk. “Ya udah ngak apa-apa kok, lain kali aja yach Hans puasin kamu.” Dia mengangguk. Lalu dia melanjutkan memainkan lidahnya. Tapi batang kemaluanku.. ya ampun.. rupanya tidak bisa menerima kenyataan ini. “Lho Hans, kenapa?” tanya Sinta. “Marah nih si junior,” kataku sambil tersenyum, dan Sinta pun tersenyum sampai akhirnya kami berciuman dan tidur bersama menghabiskan malam itu dengan penuh kejutan- kejutan yang yang membuat kami saling tersenyum. Tentu saja hatiku sedikit dongkol. Ya gimana nggak dongkol, udah diujung tapi doi lagi palang merah, pusing.. pusing..! Setelah peristiwa malam itu aku sering mengantar Sinta pulang walaupun harus bela-belain berangkat dari tempat kost-ku. Sampai tiba saat yang dinantikan yaitu ketika dia ada waktu dan mau main ke tempat kost-ku. Kejadian sama seperti yang lalu. Kali ini Sinta tampil lebih sexy dengan kemeja dan span. Setelah sampai di tempat kost-ku, aku langsung memeluknya dari belakang dan menciumi leher dan belakang telinganya. Sambil tetap memeluk dia aku bertanya, “Lagi M (mens) nggak Non?” tanyaku. “Nggak..” jawabnya mesra. Kemudian dia berbalik dan bibir kami pun beradu dan saling memainkan lidah kami. “Mmmh.. ss.. mmhh..” sambil terus kami berkuluman lidah, tanganku mulai membuka kancing kemeja yang dia pakai dan tanganku pun langsung membuka pengait BH-nya. Dan menjulanglah buah dadanya. Sambil meremas-remas aku mengarahkan bibirku di puting payudaranya. Langsung aku mengulum puting payudaranya. Terkadang aku memain kan dengan jariku sehingga dia agak menggeliat-geliat. Sampai akhirnya kupapah dia ke kasur. Lalu aku membuka baju dan celanaku sehingga yang tersisa hanya celana dalam saja. Tentu saja si junior sudah ngecap di situ sampai nongol segala, seperti lagi ngintip. Kemudian dia pun membuka kemejanya dan rok spannya. Setelah dia membuka kemejanya aku langsung menjilati sekujur tubuhnya. “Mmmh.. sshh.. ahh..” Sinta mendesah sambil terus aku memainkan lidahku. Aku kemudian membuka celana dalam Sinta karena yang tertinggal hanyalah itu. Kemudian aku melihat kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu kecil. Terkesan sensual sekali memang. Kemudian aku merubah posisiku agar aku dapat juga melihat lebih jelas, kalau perlu menjilati kemaluannya. Aku mencoba untuk mengangkangkan kedua kakinya.
Alamak.. mungil sekali daging yang berwarna pink pucat itu. Kemudian tanpa aba- aba lagi langsung aku melabrak benda kecil itu. Aku menjilatinya sampai di sela-sela klitorisnya. Dia pun tidak kuasa menahan kenikmatan yang tiada tara tersebut. Aku terus memainkannya sambil menjilati cairan-cairan pelumas yang sudah membanjir sejak tadi. “Hans, eh ya udah dong, Sinta udah becek banget nih,” bisiknya sambil dia memutar tubuhnya untuk mendapatkan batang kemaluanku. Melihat itu aku langsung saja mengakhiri acara menjilati kemaluannya. Aku membiarkan dia menjilati seluruh tubuhku. Tentunya dengan rangsangan yang sangat hebat yang sedang menerpa dirinya. “Mmmhh.. sshh..” dia mulai memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya. “Sshh.. ahh.. mmhh..” aku menaikkan sedikit pantatku sehingga batang kemaluanku agak masuk ke dalam mulutnya. “Aaahh.. sshh..” dia pun mengocok batang kemaluanku dangan menggunakan mulutnya. Bernafsu sekali. “Mmmpp.. mmpp.. mmhh..” sambil memainkan jariku di kemaluannya, ia mendesah kembali. “Ahh.. sshh..” “Oh Hans, masukin yach.. Sinta udah nggak tahan nih.” Aku melihat dirinya seperti hampir dilanda gelombang orgasme yang hebat. Akhirnya dia pun menuntun batang kemaluanku ke dalam liang senggamanya (saat itu posisiku di bawah). “Bless..” Karena dia sudah basah sekali, aku pun merasakan licinnya batang kemaluanku ketika mulai menembus liang kewanitaannya. “Ahh.. sshh.. kamu hebat Hans.” Aku diam saja sambil mengimbangi goyangannya. “Ssshh.. ahh.. sshh.. Hans aku keluar.” Benar aku merasakan batang kemaluanku hangat di dalam liang senggamanya. Kemudian dia lemas. Aku menyuruh dia untuk posisi di bawah. Akhirnya aku menghujamkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaannya. “Eeeaahh..” aku menggoyangkan pantatku naik-turun dengan kakinya yang kukangkangkan. Aku merasakan dia akan orgasme lagi. Sambil menggigit bibir bawahnya dia menatapku penuh harap supaya aku memuncratkan cairan kejantananku. “Ssshh.. aahh.. sabar yach Sinta,” aku terengah-engah, “Sebentar lagi..” Aku menggoyangkan pantatku secara cepat dan akhirnya.. “Ssshh.. ahh.. uuhh..” Aku menekan batang kemaluanku di liang kewanitaannya. “Aaahh..” aku langsung mencium keningnya dan dia memelukku sambil berucap kecil, “Aku sayang kamu Hans, kamu hebat.” Aku hanya diam saat itu.
Akhirnya kami pun melakukannya setiap ada kesempatan. Sampai pada akhirnya dia tidak bekerja lagi di Hanggar, dan aku pun tidak tahu lagi keberadaannya. Aku sudah mencoba bertanya kepada teman- temannya yang ada. Mereka hanya bilang, Sinta ada masalah keluarga. Harus pulang mendadak. Sampai saat ini pun aku tidak pernah bertemu Sinta lagi, kemana aku harus mencari. Aku tidak tahu lagi. Aku coba telepon tempatnya. Ya katanya sama, sudah pulang kampung. Akhirnya ini hanya menjadi kenangan di mana aku selalu teringat dengan Sinta jika sedang melewati tempat main bilyard Hanggar. Sekarang aku sudah berkeluarga. Biarlah ini menjadi kenangan yang tidak akan pernah kulupakan, karena dengan sedikit kegigihan aku berhasil mendapatkan seorang Sinta yang ternyata dia adalah seorang wasit primadona dan diperebutkan oleh laki- laki lain bak sebuah kompetisi.
Begitulah cerita seks yang selalu menjadi hal menarik untuk disimak, dan si pemuda diatas adalah pemuda beruntung akrena dapat bercinta dengan seorang cewek biliard. anda mungkin memiliki pengalaman seks yang berbeda, anda bisa sharing untuk teman, atau abda bisa simpan sendiri sebagai rahasia pribadi.
Aku seorang pria lajang bernama Hans dengan tinggi badan 172 cm dan berat 68 kg, berpenampilan lumayanlah untuk sekedar memikat para wanita. Aku sejak berumur 20 tahun sudah hidup berdikari. Aku kuliah (sekarang sudah lulus) dan bekerja. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku, baik untuk makan, bayar kuliah, atau sekedar untuk bersenang- senang. Di suatu senja selepas kuliah kira-kira pukul 18 :45 aku langsung memacu motorku ke tempat nongkrong di gang Bangau di Senen. Di sana kehadiranku sangat diharapkan karena aku agak ngocol kalau diajak bercanda. “Hei Hans acara elo kemana nih ntar malam,” sapa seorang teman sesampainya di sana. “Tau Lim (Kimlin) gue bingung nih, gue sih bisa kemana aja, emangnya anak-anak pada mau kemana?” “Tau tuh. Tapi si Franki ngajakin nyodok (istilah main bilyard). Mau nggak Hans?” kata Kimlin. “Gue mah boleh aja tapi anak-anak yang lain mau nggak?” “Hans, anak-anak sih mau soalnya wasitnya banyak yang cakep,” “Loh mau nyodok di mana? Bukan di tempat biasa?” “Di Hanggar.” “O.. enak nggak di sana mejanya?” “Lebih enak lagi,” Kata si monyet temanku. “Ya udah kalo anak- anak mau sih.” Akhirnya kami semua berangkat ke lokasi. Sesampainya di sana kami langsung mencari meja kosong. Tentunya satu meja untuk beramai-ramai (yang kalah main ganti orang biar agak irit mainnya). Aku melihat sekeliling ruangan. Bagus juga tempatnya. Memang sih wasitnya cakep-cakep. Sambil melihat-lihat, Aku menangkap sesosok wajah yang boleh dibilang paling cantik sih dibanding wasit yang lainnya di tempat itu. “Hei Hans giliran elo tuh..” “Ha eh sorry lagi liat-liat nih,” kataku. Setelah aku memukul bola, kudekati wasit yang sedang menghitung di meja kami. “Mbak, wasit yang itu namanya siapa sih?” sambil menunjuk sosok cantik yang kulihat tadi. “Kenapa tanya wasit itu? Cakep kan?” “Iya sih boleh juga.” “Sinta namanya. Kenapa naksir ya?” “Nggak,” kataku “Kamu kayaknya baru sekali yach dateng ke mari (tempat bilyard maksudnya).” “Iya..” “Makanya sering-sering dong kemari.” Aku tersenyum sambil menjawab, “Iya deh..!” Keesokan harinya aku balik lagi ke sana. Sama anak-anak lagi. Tentunya menunggu wasit yang bernama Sinta itu. Dan akhirnya bisa juga diwasitin sama si Sinta. Wah semangat banget anak-anak mainnya. Ada juga yang menggoda. Aku lebih memilih untuk duduk diam sambil ngobrol sama Sinta sambil mengomentari anak- anak yang bermain bilyard.
Sambil mengomentari anak- anak main, diam-diam aku melihat lekuk tubuh Sinta. Dia badannya bagus. Terlihat dari kaos ketat yang dia pakai. Dengan ukuran payudara sekitar 34B. Pinggulnya juga tidak terlalu besar. Yah isintal lah untuk seorang wanita. Dan yang lebih wah lagi ternyata Sinta merupakan wasit primadona di sana. Jadi banyak juga pemain bilyard yang mau mengincar dia, baik diwasitin, ataupun yang lain. Ya temasuk aku juga sih. Akhirnya kami ngobrol. Aku bertanya macam-macam, tentunya pura-pura kenalan dulu sekedar basa-basi. “Sinta,” katanya (sambil berjabat tangan). “Hans. Kamu udah lama jadi wasit di sini?” aku membuka percakapan. “Hmm.. lama juga. Hampir 8 bulan.” “Wah lumayan juga yach.” “Iya.” “Kamu umur berapa Sinta?” “Baru 20,” katanya. “Kamu?” dia balik bertanya. “Udah 23 (umur saya saat itu). Kenapa?” “Ah nggak pa-pa. Kamu kayaknya baru-baru aja yach main di sini.” “Iya. Kok tau?” kataku. “Iya nggak pernah keliatan,” sambil tersenyum. “Sering-sering dong kemari,” katanya. “Wow pasti, soalnya ada Sinta sih.” dia cuma tersenyum.
Berawal dari obrolan itu akhirnya aku sering main bilyard di situ, dengan Sinta sebagai wasit tentunya. Terkadang aku pun sering menawarkan sesuatu seperti m inuman atau makanan (di luar gedung suka banyak orang yang jualan). Di samping itu aku pun berniat untuk mendapatkan dia. Yah untuk iseng aja soalnya aku dulu suka sekali nyobain perempuan- perempuan baik perempuan baik-baik maupun yang nakal. Tapi setelah kupikir, saingannya banyak juga karena yang bermain di sana matanya pasti melihat ke Sinta. Tatapan mereka pun bukan sekedar tatapan biasa tetapi bagaikan tatapan seekor singa yang sedang mengincar seekor domba. Aku sih cuek aja soalnya aku menganggap ini suatu kompetisi. Namanya juga lagi usaha. Jadi kalau dapat syukur nggak dapat ya udah. Lagi pula Sinta sepertinya memberikan lampu hijau kepadaku kalau dilihat dari sikapnya setelah beberapa kali aku datang dan diwasitin olehnya. Setelah melihat sikap Sinta seperti itu, aku mencoba untuk berbicara kepadanya (berbicara serius tentunya). “Eh Sinta, kayaknya aku suka nih sama kamu.” rayuku gombal. “terus memangnya kenapa..?” tanyanya. “Kita jadiin yuk! mau ngak kamu..” Dia dia sejenak. “Kenapa?” Tanyaku, “Ada yang marah yach?” “Nggak. Siapa yang marah!?” “Nggak.. siapa tau aja..” kataku, “Jadi mau nih..” “Hmm,” sambil mengangguk. “Yes!” kataku dalam hati. Kami pun akhirnya resmi pacaran. Tapi aku tidak menganggap serius. Sinta pun kukira begitu. Jadi sekedar have fun saja. Kebetulan, dalam hatiku.
Setelah kejadian tersebut aku jadi lebih sering datang ke sana terutama malam. Terkadang aku datang sendiri, terkadang bersama Kimlin, terkadang rame-rame. Yah sekedar setor muka sekalian ngobrol- ngobrol. Jika Sinta tidak ngewasitin kita, setelah selesai ngewasitin meja lain dia langsung ke meja kami. Aku pun terus berpikir, “Gile nih Sinta.. Body oke.. gue udah bisa jalan sama dia.. masa sih gue ngak bisa ngedapetin tubuhnya!” Sampai suatu malam kucoba mengajak dia untuk main ke tempatku (kebetulan aku kost waktu itu). “Eh Sinta, acara kamu kemana selesai tugas?” “Nggak ke mana-mana kok.” “Main ke tempatku mau?” “Mmm (sambil berpikir) boleh..” Yes lagi dalam hatiku. Akhirnya dengan membonceng dia, kuajak Sinta ke tempat kost-ku yang lumanyan jauh jaraknya. “Yah beginilah tempat bujangan,” kataku membuka pembicaraan sesudah sampai di tempat kost-ku. “Lumayanlah buat ukuran kamu yang masih sendiri. Eh Hans, ngomong-ngomong ada yang marah nggak Sinta kemari?” sambil tesenyum. “Nggak kok,” kataku. “Ah masa sih? Sinta nggak percaya..” “Bener lagi (kebetulan aku masih single waktu itu), kenapa emangnya?” “Ah nggak apa-apa kok,” kata Sinta. “Sinta mau minum apa? teh manis yach?” kataku. “Boleh..” Kemudian aku mulai merebus air dan membuatkan teh manis untuk Sinta. Sesudah selesai aku membuatkan teh manis untuknya, kami mengobrol kembali dan ternyata Sinta sudah tiduran di kasur busa ruangan kost-ku.
Sambil menaruh cangkir teh di meja, aku mencoba untuk memeluknya. Ya ampun.. si junior mulai bereaksi juga nih. Soalnya dia sexy sekali. Apalagi waktu dia tiduran roknya agak tersingkap sehingga terlihat sedikit kulit mulus di balik roknya. Dengan sedikit senyum di wajahnya, dia menginginkan aku tidur di sebelahnya. Aduh mak.. bingung juga nih. Soalnya dia lebih agresif, diluar perkiraanku sih. Padahal aku ada rencana untuk memulainya. Tanpa menunggu lama lagi kubikin remang- remang ruangan di kamar kost-ku. Lalu aku tidur di sebelahnya. Deg- degan juga sih rasanya. Kemudian tanpa dikomando kami memulai saling berhadapan. Nggak tahu juga kenapa bisa bersamaan mulainya. Dia mulai memelukku kemudian aku memulai mencium keningnya. Lalu dia langsung membalas mencium leherku dan tanpa basa-basi lagi aku menyambar bibirnya yang mungil. Kemudian kami langsung berciuman dengan saling mengulum lidah kami. Gila! dalam hatiku. Nih cewek jago juga ciumannya. Kemudian dia membuka bajuku dan menempelkan lagi bibirnya di leherku. “Ssshh..” dengan lincahnya dia memainkan lidahnya di antara leher dan sekitar belakang telingaku. “Sshh.. eh Sinta..” “Hemm.. kenapa lagi Say?” katanya terkejut. “Nggak ada cupang- cupangan yach?” Kemudian dia langsung menya mbarkan lagi bibirnya dengan sedikit bernafsu. Busyet deh. Aku menggeliat sedikit sambil menghindar dan Sinta tersenyum. “Iya deh.. Nggak dicupang.” “Suer lho gue kan malu..” “Emang gue pikirin?” katanya. Setelah selesai berbicara aku langsung menyambar bibirnya. Kemudian tanganku berusaha melepaskan kaitan bra tanpa membuka busananya terlebih dahulu. Terbuka juga. Aku langsung mengarahkan tanganku ke payudaranya. Gile bener.. 34B, ukurannya pas segenggam. Kemudian aku memainkan puting susunya. “Mmmhh.. sshh..” desisnya. Melihat kelakuanku dia sadar juga. Akhirnya dia membuka baju yang dia kenakan malam itu, dan langsung menjulanglah dua gunung yang indah menantang itu.
Dia rupanya sudah mulai terangsang. Kemudian kuarahkan mulutku ke arah puting payudaranya, lalu kulumat puting susu yang ranum itu secara perlahan tapi pasti. Kujilat sekeliling puting susunya. “Mmmhh..” Dan dia pun sedikit mengejang. Mungkin akibat rangsangan yang ditimbulkan dari kuluman lidahku terhadap puting susunya. Sambil mengalungkan tangannya ke leherku, terkadang menjambak rambutku. “Ssshh.. aahh.. mmhh..” dia terus menikmati permainan lidahku terhadap putingnya. Tanpa terasa batang kemaluanku pun telah berdiri tegap. Terus terang pembaca, rasanya aku juga sudah mau keluar juga. Atas dasar itu aku menghentikan permainan lidahku dan langsung berbaring sebentar di sebelahnya. “Sinta.. nyantai dulu yah. Jangan terlalu nafsu. Aku kayaknya udah diujung nih.” Tanpa perkataan dia terus mengarahkan bibirnya ke puting susuku dan memainkan lidahnya. Sedikit menggeliat tubuhku karena menahan gejolak yang amat sangat. “Mmhh aahh..” Dia kemudian memainkan lidahnya dari dadaku sampai ke pusar. “Bener-bener deh nih cewek,” dalam hatiku. Sambil terus memainkan lidahnya bak mandi kucing, dia mulai membuka celana yang kupakai dan, “Ups..” batang kemaluanku sudah menjulang agak miring sedikit. Sambil terus menjilati, dia memainkan batang kemaluanku. Dia begitu agresif. Akupun tidak mau ketinggalan untuk melawan agresifnya. Aku pun mulai memainkan payudaranya lagi, dia tetap menjilati seluruh tubuhku. Karena posisinya agak nungging aku mencoba untuk memasukan tanganku ke dalam roknya. Tapi tanganku ditepis. “Lho..” dalam hatiku. Tanganku dipegang olehnya dan kemudian dia merubah posisinya menjadi agak tiduran. Kemudian dia berbicara, “Hans, Sinta aja yach yang puasin kamu..” “Lho kenapa?” aku bertanya keheranan. “Lagi M (mens) nih sorry nih..” Ya ampun kecele deh gue.
Sambil tersenyum aku mengangguk. “Ya udah ngak apa-apa kok, lain kali aja yach Hans puasin kamu.” Dia mengangguk. Lalu dia melanjutkan memainkan lidahnya. Tapi batang kemaluanku.. ya ampun.. rupanya tidak bisa menerima kenyataan ini. “Lho Hans, kenapa?” tanya Sinta. “Marah nih si junior,” kataku sambil tersenyum, dan Sinta pun tersenyum sampai akhirnya kami berciuman dan tidur bersama menghabiskan malam itu dengan penuh kejutan- kejutan yang yang membuat kami saling tersenyum. Tentu saja hatiku sedikit dongkol. Ya gimana nggak dongkol, udah diujung tapi doi lagi palang merah, pusing.. pusing..! Setelah peristiwa malam itu aku sering mengantar Sinta pulang walaupun harus bela-belain berangkat dari tempat kost-ku. Sampai tiba saat yang dinantikan yaitu ketika dia ada waktu dan mau main ke tempat kost-ku. Kejadian sama seperti yang lalu. Kali ini Sinta tampil lebih sexy dengan kemeja dan span. Setelah sampai di tempat kost-ku, aku langsung memeluknya dari belakang dan menciumi leher dan belakang telinganya. Sambil tetap memeluk dia aku bertanya, “Lagi M (mens) nggak Non?” tanyaku. “Nggak..” jawabnya mesra. Kemudian dia berbalik dan bibir kami pun beradu dan saling memainkan lidah kami. “Mmmh.. ss.. mmhh..” sambil terus kami berkuluman lidah, tanganku mulai membuka kancing kemeja yang dia pakai dan tanganku pun langsung membuka pengait BH-nya. Dan menjulanglah buah dadanya. Sambil meremas-remas aku mengarahkan bibirku di puting payudaranya. Langsung aku mengulum puting payudaranya. Terkadang aku memain kan dengan jariku sehingga dia agak menggeliat-geliat. Sampai akhirnya kupapah dia ke kasur. Lalu aku membuka baju dan celanaku sehingga yang tersisa hanya celana dalam saja. Tentu saja si junior sudah ngecap di situ sampai nongol segala, seperti lagi ngintip. Kemudian dia pun membuka kemejanya dan rok spannya. Setelah dia membuka kemejanya aku langsung menjilati sekujur tubuhnya. “Mmmh.. sshh.. ahh..” Sinta mendesah sambil terus aku memainkan lidahku. Aku kemudian membuka celana dalam Sinta karena yang tertinggal hanyalah itu. Kemudian aku melihat kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu kecil. Terkesan sensual sekali memang. Kemudian aku merubah posisiku agar aku dapat juga melihat lebih jelas, kalau perlu menjilati kemaluannya. Aku mencoba untuk mengangkangkan kedua kakinya.
Alamak.. mungil sekali daging yang berwarna pink pucat itu. Kemudian tanpa aba- aba lagi langsung aku melabrak benda kecil itu. Aku menjilatinya sampai di sela-sela klitorisnya. Dia pun tidak kuasa menahan kenikmatan yang tiada tara tersebut. Aku terus memainkannya sambil menjilati cairan-cairan pelumas yang sudah membanjir sejak tadi. “Hans, eh ya udah dong, Sinta udah becek banget nih,” bisiknya sambil dia memutar tubuhnya untuk mendapatkan batang kemaluanku. Melihat itu aku langsung saja mengakhiri acara menjilati kemaluannya. Aku membiarkan dia menjilati seluruh tubuhku. Tentunya dengan rangsangan yang sangat hebat yang sedang menerpa dirinya. “Mmmhh.. sshh..” dia mulai memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya. “Sshh.. ahh.. mmhh..” aku menaikkan sedikit pantatku sehingga batang kemaluanku agak masuk ke dalam mulutnya. “Aaahh.. sshh..” dia pun mengocok batang kemaluanku dangan menggunakan mulutnya. Bernafsu sekali. “Mmmpp.. mmpp.. mmhh..” sambil memainkan jariku di kemaluannya, ia mendesah kembali. “Ahh.. sshh..” “Oh Hans, masukin yach.. Sinta udah nggak tahan nih.” Aku melihat dirinya seperti hampir dilanda gelombang orgasme yang hebat. Akhirnya dia pun menuntun batang kemaluanku ke dalam liang senggamanya (saat itu posisiku di bawah). “Bless..” Karena dia sudah basah sekali, aku pun merasakan licinnya batang kemaluanku ketika mulai menembus liang kewanitaannya. “Ahh.. sshh.. kamu hebat Hans.” Aku diam saja sambil mengimbangi goyangannya. “Ssshh.. ahh.. sshh.. Hans aku keluar.” Benar aku merasakan batang kemaluanku hangat di dalam liang senggamanya. Kemudian dia lemas. Aku menyuruh dia untuk posisi di bawah. Akhirnya aku menghujamkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaannya. “Eeeaahh..” aku menggoyangkan pantatku naik-turun dengan kakinya yang kukangkangkan. Aku merasakan dia akan orgasme lagi. Sambil menggigit bibir bawahnya dia menatapku penuh harap supaya aku memuncratkan cairan kejantananku. “Ssshh.. aahh.. sabar yach Sinta,” aku terengah-engah, “Sebentar lagi..” Aku menggoyangkan pantatku secara cepat dan akhirnya.. “Ssshh.. ahh.. uuhh..” Aku menekan batang kemaluanku di liang kewanitaannya. “Aaahh..” aku langsung mencium keningnya dan dia memelukku sambil berucap kecil, “Aku sayang kamu Hans, kamu hebat.” Aku hanya diam saat itu.
Akhirnya kami pun melakukannya setiap ada kesempatan. Sampai pada akhirnya dia tidak bekerja lagi di Hanggar, dan aku pun tidak tahu lagi keberadaannya. Aku sudah mencoba bertanya kepada teman- temannya yang ada. Mereka hanya bilang, Sinta ada masalah keluarga. Harus pulang mendadak. Sampai saat ini pun aku tidak pernah bertemu Sinta lagi, kemana aku harus mencari. Aku tidak tahu lagi. Aku coba telepon tempatnya. Ya katanya sama, sudah pulang kampung. Akhirnya ini hanya menjadi kenangan di mana aku selalu teringat dengan Sinta jika sedang melewati tempat main bilyard Hanggar. Sekarang aku sudah berkeluarga. Biarlah ini menjadi kenangan yang tidak akan pernah kulupakan, karena dengan sedikit kegigihan aku berhasil mendapatkan seorang Sinta yang ternyata dia adalah seorang wasit primadona dan diperebutkan oleh laki- laki lain bak sebuah kompetisi.
Begitulah cerita seks yang selalu menjadi hal menarik untuk disimak, dan si pemuda diatas adalah pemuda beruntung akrena dapat bercinta dengan seorang cewek biliard. anda mungkin memiliki pengalaman seks yang berbeda, anda bisa sharing untuk teman, atau abda bisa simpan sendiri sebagai rahasia pribadi.