Saturday, January 8, 2011

[Teroka] Memaknai Sastra Anak

Aji Wicaksono

AKHIR November 1862, Abraham Lincoln merasa kurang percaya saat ia mengetahui perang saudara di Amerika selama empat tahun antara lain disebabkan oleh sebuah karya sastra. Sebaliknya banyak orang percaya, Uncle Tom’s Cabin, sebuah roman karya Harriet Beecher Stowe, memberikan pengaruh yang dalam pada diri masyarakat Amerika yang terlibat dalam perang bersejarah itu. Realitas imajiner seperti termanifestasi dalam realitas konkret. ”Jadi kamu, perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?” ujar Lincoln, Presiden AS itu, saat ia bertemu Stowe di Gedung Putih.

Tidak peduli apa yang dipercaya orang Amerika, tetapi jelas karya seni, sastra dalam hal ini, turut berperan dalam pembentukan sebuah peradaban. Uncle Tom’s Cabin yang sejak abad ke-19 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia hanya sebuah contoh. Dalam bahasa Indonesia, roman itu disadur ke dalam bahasa Belanda oleh Tartusi pada 1969. Hasil saduran berjudul Pondok Paman Tom yang diterbitkan Balai Pustaka mencantumkan keterangan ”Bacaan anak-anak umur 13-16 tahun”.

Belum dapat perhatian

Bagi generasi pada masa itu dan dekade berikutnya, Pondok Paman Tom menjadi salah satu warna yang memengaruhi dunia sastra modern di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, bahkan hingga hari ini, sastra anak di Indonesia justru belum mendapat perhatian yang cukup. Belum ada penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman. Sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tak penting dalam sejarah sastra, dalam pendidikan, dan perkembangan budaya. Sastra anak bukanlah sumber dalam wacana kebudayaan kita.

Sementara itu, sejarah sastra Indonesia sejak mula ia dianggap ada, sebenarnya juga diisi oleh sub-genre anak ini. Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan dianggap sebagai perintis lahirnya sastra modern Indonesia, sejak tahun-tahun awalnya sudah menerbitkan beberapa karya sastra khusus untuk anak-anak.

Kita cukup tahu, pada masa-masa itulah Pujangga Baru memiliki pengaruh penting dalam wacana sastra dan kebudayaan, bahkan politik. Namun, kita tidak menemukan tempat di mana dunia imajiner anak, dalam bentuk literernya, ikut terlibat dalam polemik itu. Tentu berawal dari anggapan, dunia anak bukanlah bagian dari dunia ”dewasa” para pemikir elite itu.

Dipinggirkan

Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjelaskan mengapa sastra anak dipinggirkan dari diskursus kebudayaan kita, dari perhitungan sejarah pendidikan, politik, seni, dan seterusnya. Apakah ini akibat lain dari kolonialisme Belanda? Atau karena dunia anak dianggap bukan variabel penting dalam perjalanan dan pembentukan adab serta kebudayaan sebuah masyarakat (bangsa)?

Sebuah rintisan yang mencoba memaknai secara lebih baik sastra anak baru dilakukan pada 1976 oleh Riris K Sarumpaet dalam bukunya, Bacaan Anak-anak. Sarumpaet membahas hakikat, sifat, corak bacaan anak-anak, serta minat anak pada bacaan. Pada masa itu, betapa pun tidak diperhitungkan dalam wacana besar, menurut Sarumpaet, sekurangnya lima penerbit komersial cukup serius menerbitkan berbagai karya sastra anak-anak, seperti Indra Press, Balai Pustaka, Djambatan, Gunung Mulia, dan Pustaka Jaya.

Namun, kenyataan secara luas tetap memperlihatkan, studi atau pendalaman terhadap peran, posisi, atau fungsi sastra anak dalam masyarakat masih sangat minim. Pengarang-pengarang yang begitu dedikatif pada jenis sastra ini tidak pernah tercatat dalam deretan pengarang utama negeri ini. Sastrawan macam Aman, Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Dwianto Setyawan, misalnya, bukanlah nama-nama yang dirasa pantas dijajarkan dengan nama-nama bertinta emas, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, atau Pramoedya A Toer.

Dalam sejarahnya, sastra anak sebenarnya memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk watak seseorang yang berimbas pada cara berpikir hingga perilakunya dalam kehidupan dewasanya.

Jangan sampai kita mengalami kegalauan dan kerancuan terhadap diri kita sendiri hanya karena kita telah ”membunuh” sastra anak sebagai masa lalu kita. Imajinasi anak-anak yang terpasung atau terbunuh adalah sebuah kematian prematur dari kemampuan fantasional, ide-ide, dan visi kita pada masa berikutnya; kematian inti dari sebuah kebudayaan.

Burhan Nurgiyantoro (2005) sebenarnya pernah mencatat, bagaimana kontribusi sastra anak dalam perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, serta religiusitas dari seseorang atau sebuah komunitas. Namun, penelitian seperti itu —yang begitu minimnya—sangatlah tidak memadai untuk mengetahui dari mana sebenarnya gairah penemuan, daya kreatif, perkembangan sebuah bahasa, wawasan multikultural, hingga sebuah nasionalisme itu bersemi. Sastra anak adalah salah satu sumber terpenting untuk kesadaran itu.

Kapan kesadaran ini akan muncul? Ketika dunia imajinasi kita kini hanya dipenuhi oleh materi-materi dan pragmatisme yang membuat visi kita berjangkauan sangat pendek? Apalagi pemerintah sebagai pemeran utama juga hampir tidak menolehkan perhatian dan kebijakan di masalah ini. Apakah harus menunggu kenyataan di mana kita sadar bahwa sumur imajinasi kita yang dahulu tanpa dasar kini telah mendangkal oleh timbunan materi, hedonisme, dan pragmatisme? Bukan kita yang menderita akhirnya. Tapi anak-anak kita.

Aji Wicaksono, Pendidik dan Penulis Cerita Anak, Tinggal di Sragen, Jawa Tengah