Saturday, January 8, 2011

Mengenang Sang Pelindung Minoritas

Hasibullah Satrawi

KAMIS (30/12), genap satu tahun Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal dunia. Ia meninggalkan republik ini yang masih berkutat dengan sejuta persoalan, terutama kekerasan bernuansa agama dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Kerinduan terhadap sosok dan perjuangan Gus Dur makin menguat mengingat aksi kekerasan dan diskriminasi belakangan semakin marak.

Kerinduan ini bisa dipahami, karena selama hayatnya Gus Dur senantiasa berjuang untuk semua golongan tanpa membeda- bedakan kelompok mayoritas atau minoritas. Akan tetapi, yang utama Gus Dur tidak pernah gentar membela hak-hak kelompok minoritas yang dianiaya.

Ada dua hal yang identik dengan Gus Dur. Pertama, perlindungan terhadap kelompok minoritas agama, keyakinan, ataupun suku dan ras. Gus Dur selalu pasang badan untuk mereka sehingga tak jarang ia dianggap lebih membela ”orang lain” ketimbang ”keluarga sendiri”.

Kedua, pengukuhan keberagamaan bervisi kebangsaan yang memadukan nilai-nilai tradisi dengan modernitas. Inilah salah satu persoalan serius bangsa belakangan ini. Maraknya aksi-aksi intoleransi, bahkan terorisme sepanjang 2010, menunjukkan lemahnya pengukuhan pola keberagamaan bervisi kebangsaan. Akibatnya, nilai-nilai keagamaan kerap diposisikan bertentangan dengan konteks kebangsaan.

Perlindungan minoritas

Dalam laporan akhir tahun 2010 yang dikeluarkan Moderate Muslim Society (MMS) ada 81 kasus intoleransi pada 2010. Aksi-aksi umumnya mengorbankan kelompok minoritas seperti umat Kristiani dan Ahmadiyah. MMS mencatat setidaknya ada 33 aksi intoleransi dialami umat Kristiani dan 25 aksi intoleransi dialami pengikut Ahmadiyah. Ironisnya, sebagian aksi intoleransi justru dilakukan oleh negara.

Selain itu, kelompok minoritas juga kerap didiskriminasi. Kesulitan luar biasa kalangan minoritas membangun tempat ibadah adalah contohnya.

Negara sejatinya melindungi seluruh bangsa, apa pun agama, keyakinan, suku, dan warna kulitnya. Tak peduli kelompok mayoritas atau minoritas. Negara juga harus adil kepada semua anak bangsa, bukan justru mengecilkan diri atau malah turut menganiaya.

Dalam hal ini, Gus Dur kerap ”mengambil alih” kewajiban negara. Akibatnya, Gus Dur senantiasa menjadi tempat berlindung dan mengadu mereka yang dianaktirikan oleh negara, saudara sebangsa, atau bahkan seagama.

Kini, setelah satu tahun Gus Dur wafat, posisi itu kerap kosong. Ibarat sepak bola, posisi Gus Dur tidak tergantikan sebagai ”pengatur” sekaligus ”penahan” serangan. Kalaupun ada yang mengisi posisi Gus Dur di lapangan kebangsaan, belum ada yang memiliki ”teknik individu” lengkap seperti Gus Dur.

Keberagamaan bangsa

Gus Dur lahir dan besar di lingkungan ormas keagamaan dengan semua tradisi dan garis perjuangannya, yaitu NU. Namun, ilmu keagamaan dan tradisi itu tak membuat Gus Dur kaku menghadapi modernisasi.

Meminjam istilah filsuf Arab modern—meninggal sesaat setelah Gus Dur wafat—Muhammad Abid Al-Jabiri, Gus Dur mampu memahami tradisi dan ajaran keagamaan relevan dengan diri sendiri (masa lalu) sekaligus relevan dengan konteks modernitas saat ini (... ja’lil maqru’i mu’ashiran linafsihi wa mu’ashiran lana).

Memadukan kesadaran masa lalu (tradisi) dengan tuntutan masa kini dalam satu sikap keberagamaan tidaklah mudah. Perlu keberanian menyadari keterpisahan (al-fashlu) masa lalu dengan masa kini (dalam konteks problematika, ilmu pengetahuan dan muatan ideologis) sekaligus ketersambungan (al-washlu) keduanya (dalam konteks pemahaman dan rasionalitas).

Gus Dur mampu melakukan dua pendekatan (pemisahan dan penyambungan) secara seimbang. Gus Dur tidak terlepas dari masa lalu (dari segi tradisi dan penampilan), tetapi menyatu dengan konteks kekinian (dari segi pemikiran dan pengetahuan).

Tak heran bila Gus Dur mampu menyenyawakan nilai-nilai luhur agama dengan nilai-nilai kebangsaan. Di tangan Gus Dur aspek keagamaan tidak mengalahkan aspek kebangsaan, begitu pun sebaliknya. Keduanya seiring dan sejalan.

Maka, sudah sepantasnya jika sepak terjang keagamaan Gus Dur menjadi model gerakan keagamaan di Indonesia. Selain karena sesuai dengan nilai-nilai universal keagamaan, perjuangan seperti inilah yang mampu mempertahankan kemajemukan sebagai jati diri bangsa.

Semua perjuangan yang diteladankan Gus Dur menjadi tantangan tersendiri bagi NU, terutama para pengurus dan elite-elitenya. Mampukah NU melanjutkan garis perjuangan yang ”disunahkan” Gus Dur? Mampukah NU melahirkan kembali tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur yang konsisten mencintai bangsa dan kemanusiaan?

Hasibullah Satrawi, Warga NU; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Aktif di Moderate Muslim Society, Jakarta