Saturday, January 8, 2011

Kepenulisan: Mengungkap Sisi Gelap Karl May

Lusiana Indriasari

”ORANG kulit putih datang dengan senyum manis di wajah, tetapi menyelipkan pisau tajam di pinggang serta senjata api yang siap ditembakkan. Mereka menjanjikan cinta kasih dan perdamaian, tetapi menebar kebencian dan pertumpahan darah”.

Itulah penggalan kalimat yang selalu ditulis Karl May dalam buku-bukunya yang berkisah tentang dunia Barat. Salah satu karya besarnya, antara lain, adalah buku Winnetou yang menceritakan petualangan dan persahabatan kepala suku Indian Apache Winnetou dan orang berkulit putih Old Shatterhand.

Melalui buku-bukunya, penulis asal Jerman yang hidup tahun 1842-1912 ini mampu menyihir anak-anak muda dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, karya-karya Karl May ini sudah dibaca sejak tahun 1911 pada masa kolonial Hindia Belanda. Lalu, pada tahun 1950, buku Karl May mulai diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu kemudian diterbitkan ulang secara mandiri oleh penggemar Karl May yang bergabung di Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI).

Kisah petualangannya tidak hanya berlatar belakang di Amerika, tetapi juga negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Oleh Karl May, kisah petualangan itu ia akui sebagai bahwa kisah-kisah petualangan dalam bukunya merupakan pengalaman pribadinya selama menjelajahi negara-negara di dunia. Benarkah?

Di balik kesuksesan sebagai penulis terkenal, ternyata Karl May menyimpan kisah gelap dalam hidupnya. Pada tahun 1910, kisah kelam itu ia tuliskan dalam buku otobiografi yang merupakan salah satu karya terakhir Karl May sebelum meninggal tahun 1912.

Berdasarkan buku otobiografi tersebut, dibuatlah film dokumenter di Jerman dengan judul der phantasm aur sachsen atau penghayal dari saksen. Film dokumenter ini, pekan lalu (21/12) lalu, diputar oleh PKMI di Goethe Institut, Jakarta, untuk memperingati 60 tahun karya Karl May dalam edisi bahasa Indonesia.

Kepribadian ganda

Dalam film ini terungkap bahwa Karl May adalah orang dengan kepribadian ganda. Ketika kepribadian lainnya muncul, ia menjelma menjadi Old Shatterhand yang kemudian menjadi tokoh utama dalam buku-buku petualangannya di dunia Barat. Ia juga menjadi Kara Ben Nemsi yang berpetualang di negeri Timur Tengah. Dalam bukunya, ia memakai bahasa ”saya” untuk menceritakan petualangannya.

”Winnetou adalah tokoh khayalan sekaligus saudara sedarah Karl May. Ia menjadi seorang kriminal karena tidak mampu dan tidak mau memisahkan dunia nyata dengan khayalannya,” kata narator berbahasa Jerman membuka film dokumenter tersebut.

Karl May lahir 25 Februari 1842 di sebuah desa kecil bernama Saksen atau Saxony, Jerman. Ia berasal dari keluarga penenun yang sangat miskin. Dari 14 anak, hanya lima orang yang masih hidup dan tumbuh hingga dewasa, termasuk Karl May. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Karena kekurangan gizi, ia mengalami kebutaan hingga usianya empat tahun. Setelah itu, ia mampu melihat kembali yang oleh para dokter disebut sebagai kemustahilan. ”Saya adalah anak kesayangan dari kemiskinan, penderitaan, dan kesedihan, ” kata Karl May

Masa kebutaan membuat daya imajinasi Karl May berkembang di atas rata-rata. Ia mengembangkan khayalannya dari dongeng-dongeng yang diceritakan neneknya. Ketika berusia lima tahun, ia digambarkan sebagai anak yang mampu menarik perhatian anak-anak lain dengan dongeng-dongengnya.

Pada umur 14 tahun, ia dididik keras oleh ayahnya yang bertekad menjadikan Karl May sebagai orang berpendidikan. Ia diwajibkan membaca buku setiap hari hingga larut malam dan menghabiskan banyak waktu untuk belajar daripada bermain. Ia banyak mempelajari budaya, adat istiadat, dan kepercayaan suku Indian.

Terkekang

Karl May belajar bahasa Latin secara otodidak dan juga belajar bahasa Prancis dari les privat. Untuk membayar uang lesnya, ia bekerja selama 12 jam sebagai penyusun bola boling di sebuah kedai minuman.

Ia merasa terkekang oleh keadaan. Namun, buku-buku yang dibaca telah membebaskan jiwanya. Ia sempat dipenjara karena kejahatan dilakukan tanpa disadarinya. Ia berperan menjadi pencuri seperti kisah Robin Hood, menjadi dokter yang menipu tukang kain, dan mengaku menjadi salah satu kerabat keluarga kaya-raya. Peran gandanya ini telah menjebloskan Karl May ke penjara selama total delapan tahun sebelum ia mulai menulis pada usia 32 tahun.

Ketika buku petualangan dengan tokoh Winnetou dan Old Shatterhand melejit, Karl May mengakui bahwa cerita yang ditulisnya benar-benar dialaminya. Di rumahnya, ia bahkan menyimpan beberapa benda, seperti senapan perak, kulit beruang, kalung dari gigi binatang, dan lain-lain yang diakuinya diperoleh selama petualangan. Belakangan diketahui bahwa Karl May memesan barang-barang tadi untuk memenuhi imajinasinya.

Terlepas dari masa lalunya yang kelam, pesan yang dibawa Karl May melalui buku-bukunya dirasa tetap relevan sampai sekarang. Pandu Ganesha, Ketua PKMI, mengatakan, sejak abad ke-19 Karl May sudah membicarakan tentang perdamaian, cinta lingkungan, dan kemanusiaan.